Tahun 1647, Amangkurat I
memancung kepala 6.000 ulama Jawa beserta keluarganya di alun-alun Kraton
Plered, Yogyakarta. Syiar Islam di Tanah Jawa, paska era Wali Songo, pun
mandeg. VOC, sekutu utama Raja Mataram itu, bergembira.
Lebih satu abad kemudian, Diponegoro mengobarkan jihad fi
sabilillah untuk mengusir kaum kafir Belanda dan menegakkan panji syahadat di
Tanah Jawa, dalam bentuk sebuah negara merdeka berasaskan Islam. Jihad fi
sabilillah ini oleh sejarawan Belanda direduksi hanya sebagai perang sakit
hati, yang hanya disebabkan perebutan tahta dan persoalan tanah makam leluhur.
Sejarah selalu berulang. Dan hari ini, episode Amangkurat I,
Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah, Kiai Modjo, dan Patih Danuredjo pun
kembali terjadi. Dalam bentuk yang lebih canggih, tapi lakonnya tetaplah sama.
Persis sama… []
Dengan penuh hormat dan kebanggaan,
kupersembahkan kepada anak keturunan
dan keluarga besar Pangeran Diponegoro,
semoga kemuliaan perjuangan Beliau
menginspirasi hidup kita semua…
PROLOG
Plered, Jawa Tengah, 1647
APA YANG SEKARANG DILIHAT DENGAN mata dan kepalanya sendiri
sungguh-sungguh membuat Dyah Jayengsari ingin muntah. Dua jam lalu, kepala juru
masak kraton menyuruhnya membakar panci besi tebal. Bentuknya seperti topi.
Dyah Jayengsari tidak berani bertanya untuk apa panci besi itu dibakar. Sebagai
orang baru di kraton, dia harus tahu diri. Walau diliputi tanda tanya besar,
namun gadis dari Krapyak ini tidak berani bertanya macam-macam.
Setelah panci itu membara, berubah jadi pijar panas yang
mengerikan, dua prajurit Mataram menggotongnya dengan sebuah gerobak kayu ke
bagian selatan alun-alun yang tidak jauh dari tempat Dyah Jayengsari berdiri.
Di sana berkerumun banyak orang. Para prajurit juga berjaga-jaga Menurut kabar
burung, seorang pemberontak pengikut Pangeran Alit tertangkap. Dia akan segera
dihukum. Gadis itu tidak tahu apa hubungannya dengan panci panas itu.
Didorong penasaran, dia berjalan mendekati kerumunan. Dengan
susah payah Dyah Jayengsari menyibak kerumunan orang, hingga akhirnya dia
berdiri dekat dengan seorang lelaki paruh baya, bertelanjang dada, yang sedang
duduk bersimpuh dengan tangan terikat. Kedua matanya ditutup secarik kain
hitam. Satu tombak di depan lelaki itu, terdapat sebuah lubang seukuran badan
orang dewasa. Lima prajurit kraton berjaga di sampingnya.
Tanda tanya besar masih memenuhi kepala gadis itu.
Tiba-tiba seorang prajurit Mataram yang bertindak selaku algojo
memerintahkan agar sang pesakitan dipendam di lubang yang ada di depannya. Lima
orang prajurit bertubuh besar yang berjaga di sekeliling lelaki itu bergegas
mengangkatnya. Dengan kasar mereka mengubur tubuh lelaki itu dari leher ke
bawah.
Anehnya, lelaki itu tidak meronta-ronta. Ketika kain hitam
dibuka, kedua matanya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sorot matanya
begitu tenang, menyiratkan kepasrahan yang total pada kehendak Yang Maha Kuasa.
Mulutnya terlihat komat-kamit membaca doa-doa dalam bahasa Arab.
Dari belakang, dua prajurit yang tadi ikut mengubur lelaki itu
menggotong panci yang masih membara dan kemudian segera menangkupkan panci itu
ke kepala sang pesakitan.
“Allahu Akbar!!!”
Lelaki itu melolong kesakitan. Begitu keras dan memilukan. Tak
kuat menahan sengatan sakit yang luar biasa, lelaki itu langsung pingsan. ‘Topi
besi panas’ itu melumerkan batok kepalanya. Suara gemerisik terdengar, seiring
desis daging terbakar. Semua yang menonton menjerit ketakutan. Termasuk Dyah
Jayengsari. Badan gadis itu menggigil hebat. Perutnya mual. Pandangan matanya
berkunang-kunang. Kesadarannya mulai hilang. Dyah Jayengsari akhirnya jatuh tak
sadarkan diri.
Gadis itu tiba-tiba tersadar. Dia menengok ke sekeliling
ruangan. Tidak ada kerumunan orang. Dia ternyata sendirian di bilik tidurnya.
Mimpi itu ternyata terulang kembali. Mimpi nyata yang pernah dilihatnya
beberapa pekan lalu.
Dari atap rumbia yang bolong di sana-sini hingga menyisakan
ruang bagi sorot matahari yang menerobos ke dalam, Dyah Jayengsari tahu bahwa
hari masih siang. Arah sinarnya ke timur menandakan Sang Surya telah mulai
tergelincir ke barat.
Entah mengapa, perasaan gadis itu tidak enak. Keringatnya
mengucur deras membasahi bajunya. Jantungnya berdegup keras menggedor-gedor
relung dadanya. Baru saja dia hendak berdiri, sebuah teriakan keras mengagetkan
dirinya.
“Keluar! Atas nama Paduka Yang Mulia, semua yang ada di dalam
rumah ini keluar!”
Dyah Jayengsari menggigil ketakutan. Gadis itu tahu, teriakan
itu berasal dari prajurit kraton.
Gerangan apa yang membuat mereka ke sini?
“Cepat keluar! Atau kami dobrak!”
Sambil berjalan, Dyah Jayengsari merenggut kerudung yang
tersampir di bilik bambu dinding kamar dan menutupi kepala sekadarnya. Gadis
itu bergegas keluar. Rumah sepi. Hanya ada dirinya. Benar saja, di depan pintu
telah berdiri tiga orang prajurit kraton lengkap dengan pedang dan tombak. Yang
membuatnya kaget, ayahnya dan Wulung Ludhira-adik satu-satunya yang masih
berusia sepuluh tahun-sudah berada di antara pasukan itu dengan pengawalan
ketat.
“Siapa lagi yang ada di dalam!” hardik salah seorang prajurit. Tangan
kanannya menggenggam tombak dengan ujung besi mirip trisula.
“Tidak ada lagi, Tuan. Saya sendirian…,” jawab Dyah pelan.
Ketakutan segera menyergap dirinya. Tapi prajurit-prajurit kraton itu tidak
percaya. Mereka mendobrak gubuk itu lalu menerabas ke dalam. Sesaat kemudian
mereka keluar tanpa membawa siapa pun. Nihil.
“Dia benar. Tak ada lagi orang…”
Seorang prajurit yang sepertinya bertindak sebagai kepala regu
memerintahkan semuanya pergi ke alun-alun. Dyah Jayengsari, ayah, serta adiknya
hanya bisa mengikuti pasukan penjemputnya dengan menaiki seekor kuda yang telah
diikat tali. Untunglah gubuk mereka tidak begitu jauh dengan alun-alun,
sehingga dalam waktu singkat mereka sudah tiba di lapangan yang luas, di mana
di sebelah selatannya berdiri bangunan Kraton Plered yang belum rampung
dibangun. Walau demikian, Raja Amangkurat I sudah menempatinya.
Kraton Mataram Plered merupakan kraton baru. Yang lama berada di
Kerto, lima kilometer selatan Kotagede. Adalah Susuhunan Amangkurat I yang
memindahkan pusat kerajaannya itu dari Kerto setelah dua tahun berkuasa.
Berbeda dengan kraton lama yang hanya berpagar kayu, maka kraton
baru ini lebih mirip sebuah benteng. Bangunannya dikelilingi dinding batubata
dan semen, dengan tinggi lima sampai enam meter. Tebalnya mencapai satu
setengah meter. Sebuah parit buatan yang terhubung dengan Kali Opak dibuat
mengelilingi kraton-benteng berbentuk belah ketupat ini, sehingga pusat
kekuasaan Mataram di bawah Amangkurat I tampak seperti sebuah pulau di
kelilingi daratan luas.
Alun-alun kraton ada dua, di utara dan selatan. Antara alun-alun
dengan istana dihubungkan dengan sebuah jembatan yang selalu dijaga ketat
prajurit kraton. Model keraton-benteng ini mengingatkan kita pada model
istana-benteng raja-raja Eropa.
Hanya saja, bangunan Keraton Mataram di Plered tidak dibuat
tinggi bertingkat-tingkat.
Dari atas kudanya yang berjalan lambat, Dyah Jayengsari, Wulung
Ludhira, dan Ki Ageng Ludhira baru memasuki jalan utama menuju alun-alun
kraton. Di sisi kanan dan kiri jalan utama yang lurus terbuat dari tanah yang
dipadatkan, berjejer beringin putih setinggi empat sampai lima meteran. Di tiap
pohon beringin, dua pasukan kraton bersenjatakan tombak berdiri dalam sikap
siaga seolah tengah bersiap berperang.
“Ada apa gerangan, Nduk?” bisik Ki Ageng Ludhira kepada anaknya
yang duduk di belakangnya mengapit Wulung.
Gadis itu menggelengkan kepalanya, “Aku ndak tahu, Pak. Tapi
perasaanku ndak enak.”
“Berdoa saja ya, Nduk. Perasaanku juga tidak enak. Mudah-mudahan
tidak terjadi suatu apa.”
Walau berkata begitu, tetapi kedua mata Ki Ageng Ludhira tidak
bisa membohongi anaknya. Dyah Jayengsari tahu jika sesuatu yang buruk pasti
akan terjadi. Apa yang dilakukan prajurit-prajurit ini pasti atas perintah
Susuhunan Amangkurat I. Dan semua yang dilakukan raja lalim ini semuanya pasti
berakhir tragis. Karakter raja ini sangat buruk. Dia amat berbeda dengan
ayahnya, Sultan Agung Hanyokrokusumah, dan juga dengan adik-adiknya.
(bersambung/rz)
Di awal kekuasaannya,
Amangkurat I melakukan pembersihan terhadap loyalis ayahnya sendiri yang berada
di dalam lingkungan kraton maupun di luar. Mereka dibunuh dengan cara yang
sangat keji. Jumlahnya mencapai tiga ribuan.
Menurut bisik-bisik orang kraton sendiri, Amangkurat I memiliki
kegemaran yang tidak lazim. Selain memiliki nafsu yang tak pernah terpuaskan
terhadap perempuan-perempuan muda, raja ini juga gemar menyiksa rakyatnya.
Bahkan sang raja menciptakan sendiri cara-cara penyiksaan yang teramat sadis,
terlebih kepada orang-orang yang dicurigai hendak melawan kekuasaannya.
Cara-cara penyiksaan ala Amangkurat I di antaranya adalah:
Pertama, dari bagian atas
telinga, kepala pesakitan dikuliti sampai batok kepalanya terlihat. Orang-orang
yang mendapat hukuman ini kebanyakan meninggal dunia. Namun ada pula yang masih
bisa bertahan hidup walau kemudian akhirnya juga menemui ajal dengan amat
menyakitkan.
Kedua, kaki pesakitan diikat,
lalu digantung dengan posisi kepala di bawah. Di bawah kepala, ditaruh panci
panas berukuran besar berisi minyak yang mendidih. Kemudian, kepala orang itu
dicelupkan ke dalam minyak yang bergolak sampai sebatas telinga hingga rambut
dan kulit kepalanya mengelupas. Semua yang mengalami siksaan jenis ini menemui
ajal karena sakit yang tak terperikan.
Ketiga, siksaan yang tak kalah
menakutkan adalah si terhukum diperintahkan untuk mengenakan topi besi yang
tebal yang telah dipanaskan hingga menjadi merah membara. Rambut akan hangus,
kulit kepala terkelupas dan gosong, dan otaknya akan terbakar. Tak ada yang
selamat dari jenis siksaan seperti ini.
Dan sore ini, sesuatu yang mengerikan sepertinya akan terjadi.
Dyah Jayengsari mendapati dirinya tidak sendirian. Dari berbagai arah, juga
berdatangan—mengalir bagai air bah—ribuan ulama, guru ngaji, anak-anak santri
dan santriwati, beserta seluruh keluarganya, yang seluruhnya digiring dan
dijaga ketat pasukan Mataram ke alun-alun. Semuanya dikumpulkan di lapangan
yang luas hingga tercipta lautan jubah putih.
Di tanah lapang itu mereka semua dikumpulkan menjadi satu.
Semuanya, tanpa kecuali, disuruh duduk bersila di atas tanah menghadap ke arah
timur di mana sebuah bukit yang tidak begitu tinggi tampak memanjang searah
dengan aliran Kali Opak. Ribuan orang itu, besar dan kecil, tua dan muda, duduk
di atas tanah dalam barisan yang diatur paksa oleh para prajurit.
Di sekeliling lapangan, tiga lapis pasukan Mataram bersenjata
pedang dan tombak mengepung orang-orang itu dalam formasi siaga. Agaknya
Amangkurat I memerintahkan semua pasukannya mengepung alun-alun dengan rapat,
hingga tak ada celah untuk meloloskan diri.
Ketika hari sudah mulai gelap, ribuan ulama, santri, dan
keluarganya dilarang untuk menunaikan sholat maghrib. Para prajurit mengancam,
siapa pun yang ketahuan mengerjakan sholat, akan langsung ditebas lehenya.
Beberapa ulama tidak mengindahkan ancaman itu dan tetap mengerjakan sholat,
walau sambil duduk. Celakanya, hal itu diketahui para prajurit. Tanpa ampun
lagi, mereka memenggal leher beberapa ulama tersebut dengan pedangnya. Jerit
dan tangis segera pecah di tengah kerumunan massa. Namun suasana dengan cepat
jadi senyap kembali karena para prajurit itu lagi-lagi mengeluarkan ancamannya
akan melakukan hal yang sama jika ada yang berani berteriak atau membuat ribut.
Dalam kesenyapan yang mencekam itu tiba-tiba semua mata melihat
ke arah pintu gerbang kraton yang menuju ke bukit di sebelah timur alun-alun
yang tanpak bercahaya. Dari gapura batu kali setinggi enam meteran, serombongan
orang dengan membawa tiang obor keluar dari dalam kraton. Di belakang pasukan
obor terlihat sepuluh orang anggota Trisat Kenya, pasukan khusus pengawal raja
yang semuanya terdiri dari perawan cantik dengan pakaian lelaki bersulam emas,
terlihat menyandang pedang dan tombak. Di bawah cahaya ratusan obor, pasukan
itu terlihat begitu anggun dan gagah.
“Trisat Kenya…,” ujar Dyah Jayengsari lirih. Ayahnya hanya
mengangguk-anggukan kepalanya. Bibirnya yang sudah kering karena tidak diberi
air minum sejak berada di alun-alun, terus bergerak-gerak melantunkan doa
kepada Yang Maha Kuasa. Bola kecil di tenggorokannya terus bergerak-gerak tak
pernah berhenti.
Ki Ageng Ludhira dan juga Dyah Jayengsari tahu, Trisat Kenya
merupakan pasukan khusus pengawal Susuhunan Amangkurat Agung I yang semuanya
terdiri dari para perawan cantik yang dibekali olah kanjuragan tingkat tinggi.
Disebut sebagai pasukan pengawal khusus karena tugas seorang Trisat Kenya bukan
saja bertanggungjawab terhadap keamanan dan keselamatan fisik sang raja, namun
juga wajib menjaga kewibawaan dan melindungi rahasia sang raja dalam hal yang
paling pribadi sekali pun.
Pasukan ini merupakan hal yang baru dalam tradisi Mataram Islam.
Adalah Kanjeng Ratu Ibu yang membentuk pasukan ini untuk menjaga Amangkurat I.
Sang Ibu sungguh-sungguh paham jika sejak kecil Amangkurat I yang memiliki
perangai buruk, memang punya banyak musuh. Jauh di dalam hatinya, Kanjeng Ratu
Ibu sesungguhnya menyesal dan meratapi keberadaan Raden Mas Sayidin, nama kecil
dari Susuhunan Amangkurat I, yang bersifat kurang baik, beda dengan adiknya,
Pangeran Alit.
Raden Mas Sayidin sangat temperamental, kekanak-kanakan, dan
memiliki kegemaran yang tidak masuk akal dan tidak terpuaskan terhadap
perempuan. Pada tahun 1637, ketika masih berstatus sebagai putra mahkota, Raden
Mas Sayidin sudah terlibat dalam skandal memalukan yang melibatkan isteri
seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Tumenggung kepercayaan Sultan
Agung ini melaporkan hal itu kepada Sultan Agung. Akibatnya Raden Mas Sayidin
dihukum. Untuk beberapa lama, dia dibuang ke hutan larangan.
Kejadian ini kelak menimbulkan dendam membara di dada putera
mahkota tersebut, sehingga di awal kekuasaanya, Raden Mas Sayidin yang telah
menjadi Susuhunan Amangkurat I membunuh Tumenggung Wiraguna dan seluruh
pengikutnya.
Namun sebagai seorang ibu, apa dan bagaimana pun juga perangai
sang anak, dia tetaplah harus menjaga dan melindungi anaknya, bahkan walau
nyawanya sendiri jadi taruhan. Itulah yang dilakukan Kanjeng Ratu Ibu yang
berinisiatif membentuk pasukan khusus pengawal raja.
Awalnya, Kanjeng Ratu Ibu—alias Ratu Wetan, puteri dari
Tumenggung Upasanta yang merupakan Bupati Batang keturunan dari Ki Juru
Martani—menginginkan sang raja dijaga prajurit lelaki pilihan. Namun Amangkurat
I sendiri menolaknya dan mengatakan dia tidak bisa mempercayai laki-laki
sedikit pun. Anaknya itu meminta agar seluruh anggota pasukan pengawal
khususnya hanya terdiri dari para perempuan muda, masih perawan, dan tentu saja
harus cantik.
“Mereka harus dilatih dengan keras agar terampil menggunakan
senjata, dan juga harus dibekali olah kanuragan yang mumpuni,” ujar Amangkurat
I kepada Kanjeng Ratu Ibu. “…dan tugas atau keanggotaan setiap Trisat Kenya
hanya akan berakhir manakala mereka dihadiahkan kepada para adipati atau
bawahanku.”
Sang ibu hanya bisa mengangguk.
Setiap keinginan sang raja bagaimana pun adalah sabda pandhita ratu, yang
tidak bisa ditolak sedikit pun. Akhirnya terbentuklah pasukan Trisat Kenya yang
seperti sekarang tengah berjalan dengan langkah tegap menaiki bukit di timur
alun-alun.
Sepuluh Trisat Kenya yang
berbaris paling depan adalah pembuka jalan. Di belakangnya, sepuluh abdi dalem
laki-laki bertelanjang dada tanpa dibekali senjata, menggotong tandu besar
berisi kursi raja yang terbuat dari jati yang berat, lengkap dengan atapnya
yang berumbai sutera dan bordiran benang emas. Di sekeliling raja, tigapuluh
anggota Trisat Kenya berjaga. Ada yang membawa pedang, keris, tombak, dan juga tulup,
sejenis sumpit panjang yang diisi dengan panah kecil yang ujungnya beracun.
Masing-masing Trisat Kenya punya keahlian berbeda dalam penggunaan senjata dan
juga ilmu kanuragannya.
Pelan tapi pasti, rombongan
raja itu bergerak menaiki puncak perbukitan. Beberapa lelaki tua pembawa tiang
obor setinggi dua tombak berada paling depan membuka jalan. Di bagian paling
belakang juga ditutup sejumlah abdi dalem laki-laki sepuh memegang
tiang obor. Ketika singgasana diturunkan di tempat yang paling tinggi, para
abdi dalem laki-laki semuanya langsung turun kembali ke bawah bukit. Demikian
pula dengan yang membawa obor. Sehingga sekarang hanya ada sang raja yang duduk
dengan pongahnya di atas singgasana, dikelilingi empatpuluhan Trisat Kenya
lengkap dengan senjatanya.
Suasana kemudian bertambah hening. Kesenyapan selama beberapa
menit itu sungguh-sungguh meremas jantung. Semua mata memandang ke atas bukit,
menanti apa yang hendak dilakukan atau diperintahkan oleh sang raja. Untuk
beberapa lama sang raja hanya duduk diam di atas singgasananya. Mungkin dia
tengah menikmati lautan jubah putih yang memenuhi alun-alun yang berada di
bawah kakinya. Entah apa yang ada di dalam benaknya ketika itu.
Dyah Jayengsari, Ki Ageng Ludhira, dan ribuan orang lainnya yang
masih duduk di alun-alun melihat dari kejauhan ketika Susuhunan Amangkurat I
mulai bergerak turun dari singgasananya. Dia berjalan beberapa langkah ke
depan, dan berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang.
Raja lalim itu terus berdiri dengan tegak. Kedua tangannya masih
berkacak pinggang. Dia mengedarkan pandangan ke bawah kakinya, menyapu seluruh
areal alun-alun kratonnya. Bibirnya yang menghitam mencibir. Sorot matanya yang
dipenuhi dendam kesumat berbinar-binar tanda puas. Kepalanya mengangguk-angguk.
Dengan tangan kanan masih berkacak pinggang, tiba-tiba tangan kirinya diangkat
ke atas tinggi-tinggi. Sebuah perintah yang hanya dipahami seluruh pasukannya
yang sedari sore telah siap dengan senjatanya.(bersambung)
“Habisi !!!” teriak para
komandan regu dengan suara yang menggelegar
Seketika itu juga
berlompatanlah para prajurit itu dengan pedang terhunus ke tengah-tengah
lapangan yang dipenuhi lautan manusia tanpa daya. Dengan teramat ganas, pasukan
Mataram itu menyabetkan pedangnya ke kanan dan kiri, memenggal leher siapa pun
yang ada di dekatnya tanpa pandang bulu, apakah itu laki-laki tua, perempuan,
bahkan anak kecil. Jerit tangis, lolong kesakitan, dan kumandang doa memenuhi
angkasa alun-alun kraton malam itu. Namun tak ada yang sanggup menghentikan
kegilaan yang tengah dipertontonkan pasukan Mataram yang notabene kebanyakan
juga sudah memeluk agama Islam.
Di atas bukit, Amangkurat I masih berkacak pinggang menyaksikan
pembantaian besar yang dilakukan prajuritnya terhadap enam ribuan ulama,
santri, dan seluruh keluarganya. Kepalanya mengangguk-angguk puas. Sesekali
jemarinya memilin kumisnya yang tebal melintang. Dia benar-benar menikmati
pemandangan di bawahnya. Betapa ribuan orang yang tengah menanti ajal itu
sebentar lagi akan lenyap dari muka bumi. Musuh-musuhnya akan semakin sedikit.
Dan dia akan bisa berkuasa dengan tenang, tanpa diusik oleh siapa pun.
Raja Jawa itu merasa sangat
aman berada di atas bukit. Di sekelilingnya berdiri dengan kewaspadaan penuh
puluhan Trisat Kenya.
Dalam waktu teramat singkat, ribuan nyawa melayang dengan kepala
terpisah dari jasadnya. Tanah alun-alun yang begitu luas seketika berubah
menjadi lautan darah. Dari cahaya ratusan tiang obor yang menyala di sekeliling
alun-alun, terlihat pasukan Mataram yang sudah belepotan darah itu masih saja
bergerak buas membunuh ke sana-kemari tanpa perlawanan. Pasukan yang sebagian
pernah ikut menyerang VOC di Batavia semasa kekuasaan Sultan Agung itu kini
berbalik menjadi mesin penjagal bagi bangsanya sendiri.
Pembantaian yang sangat mengerikan itu berlangsung tidak sampai
setengah jam!
Tiba-tiba terdengar lengkingan peluit panjang tiga kali yang
ditiup para pimpinan regu pasukan. Penyembelihan telah berakhir. Semua orang
yang ada di dalam daftar berikut keluarganya sudah dihabisi. Mendengar isyarat
peluit itu, Amangkurat I mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Buang semua mayat itu ke parit!
Sebagian prajurit yang masih bersiaga dengan pedang terhunus
berjajar satu lapis dalam jarak tiap lima tombak mengepung alun-alun. Pedang
dan badan mereka belepotan darah. Prajurit yang lain menyambut datangnya
gerobak-gerobak dorong yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Gerobak-gerobak itu
segera saja diisi dengan mayat-mayat tanpa kepala dan kepala tanpa jasad hingga
penuh. Setelah gerobak penuh, prajurit yang membawa gerobak itu mendorongnya ke
arah parit buatan dan membuang semua isinya ke dalam parit yang berair deras
menuju ke Kali Opak. Berkali-kali mereka melakukan itu, mondar-mandir bagai
kereta maut, hingga tak satu pun jasad tersisa.
Air parit dan Kali Opak yang tadinya jernih berubah menjadi
kental berwarna merah. Bau anyir darah tercium di mana-mana.
Tanpa diketahui siapa pun, Wulung Ludhira, bocah sepuluh tahun
adik dari Dyah Jayengsari, ternyata masih hidup. Tubuhnya yang kecil tertutup
oleh mayat-mayat tanpa kepala yang sebagiannya menindih tubuhnya. Anak yang
sudah ditinggal ibunya sejak bayi itu menggigil ketakutan. Ayah dan kakak
satu-satunya sudah meninggal dengan cara yang sangat mengerikan. Dia ingin
menjerit dan menangis. Tapi suaranya tercekat oleh kengerian yang teramat
sangat. Bocah itu hanya bisa diam tak bergerak. Tubuhnya dirasa amat lemas dan
juga kaku. Seluruh badan, kepala, dan rambutnya basah oleh darah kental yang
membanjir di sekitarnya.
Tiba-tiba Wulung Ludhira merasakan tubuh kecilnya ikut digotong
dan dilempar ke dalam gerobak bersama belasan mayat lainnya. Ditumpuk begitu
saja menjadi satu. Bocah itu sungguh-sungguh ketakutan. Tubuhnya tidak bisa
bergerak. Dia nyaris tidak bisa bernafas.Tapi itu malah menyelamatkan nyawanya.
Bocah kecil itu bisa merasakan jika gerobaknya ditarik dengan
kasar oleh sejumlah prajurit. Roda-rodanya yang terbuat kayu dilapis karet
hitam berderak-derak sebentar, lalu berhenti. Wulung Ludhira bisa merasakan
gerobak tiba-tiba miring. Dia bersama belasan mayat tanpa kepala dan kepala
tanpa jasad yang masih hangat itu pun langsung meluncur bebas ke dalam parit
yang deras airnya. Dia pun hanyut di parit yang sudah dipenuhi mayat.
Walau pandai berenang, namun bocah itu kesulitan menggerakkan
tubuhnya disebabkan mayat dan kepala ada di mana-mana. Dengan menahan kengerian
yang teramat sangat, dia berpegangan pada salah satu kaki jasad yang
mengambang. Bocah kecil itu terus mengikut kemana air membawanya.
Pekatnya malam membuatnya tak terlihat oleh pasukannya Amangkurat
I yang masih sibuk membersihkan alun-alun. Bocah kecil itu kelelahan. Semua
kejadian malam itu menguras seluruh tenaga dan perasaannya. Akhirnya Wulung
Ludhira pingsan. Dia terus hanyut dibawa air hingga jauh dari alun-alun. Hingga
tubuhnya tersangkut akar beringin yang menjulur ke Kali Opak, beberapa
kilometer ke selatan Kraton Plered.
Entah sudah berapa lama Wulung Ludhira tak sadarkan diri. Ketika
siuman, matahari sudah berada di atas kepalanya. Bocah kecil itu mendapati
dirinya masih tersangkut suluran akar beringin yang tumbuh di pinggir kali.
Sebagian badannya masih terendam di bawah air kali. Di beberapa tempat, jasad
tanpa kepala dan kepala tanpa badan juga tersangkut. Kengerian yang teramat
sangat kembali menyergapnya. Walau seluruh tubuhnya sakit, dan juga lelah,
dengan sisa-sisa tenaga bocah kecil itu berusaha merangkak naik ke pinggir
kali, hingga dia tergeletak di atas rerumputan, satu meter dari air kali.
Entah kini dia berada di mana. Bocah itu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Tidak ada rumah barang satu pun. Yang ada hanya
hamparan rumput dengan tiga pohon beringin besar yang tumbuh di dekat dirinya.
Lainnya hanya berupa semak dan tumbuhan perdu. Anak kecil itu tidak tahu nama
tempat ini. Perutnya yang tidak terisi sejak kemarin terasa perih. Tubuhnya
dirasa makin lemah. Dia menggigil kedinginan. Bocah itu akhirnya tak sadarkan
diri kembali. Dia tergeletak begitu saja di atas rerumputan, dinaungi pohon
beringin besar yang ada didekatnya.
Tak lama kemudian, seorang lelaki tua bertelanjang dada, dengan
kepala ditutupi caping yang sudah kusam, mendekati bocah itu dengan hati-hati.
Ketika mendapati ada bocah kecil yang menggeletak di atas rumput, lelaki tua
itu mengusap kepala Wulung Ludhira dengan lembut. Bibirnya yang sudah sedikit
keriput tersenyum tulus. Dengan penuh hati-hati akhirnya dia menggendong bocah
itu dan bergegas pergi menghilang begitu saja ke arah barat… []
Bab 1
178 tahun kemudian…
Gua Selarong, Yogyakarta, 1825
NYALI LEBIH PENTING KETIMBANG OTAK! Walau malam ini gelap
gulita, tak ada bulan dan bintang yang menggantung di atas langit, namun Ki
Singalodra tidak perduli. Lelaki kekar dengan wajah berewokan itu terus memacu
kudanya seperti dikejar setan. Derap kaki kudanya menggetarkan bumi. Kepulan
debu yang ditinggalkannya membentuk tabir pekat yang tak tembus pandang. Semua
hewan malam menyingkir dari jalan jika tak ingin tergilas kegilaan kuda dan
penunggangnya itu.
Jagoan dari Dusun Ngampilan ini memegang tali kekang hanya
dengan sebelah tangan. Tangan yang satunya lagi memeluk seorang bocah kecil
yang tubuhnya berlumuran darah. Bocah itu sudah tak bernyawa. Tubuh mungilnya
bergerak-gerak, seirama gerak kuda yang terus berlari dengan amat cepat bagai
terbang di atas tanah.
Dada Ki Singalodra sungguh-sungguh sesak, terbakar amarah.
Setengah jam lalu dusunnya dibakar Belanda. Celakanya, saat itu dia tengah
berada di dusun tetangga. Mendengar kabar mengejutkan itu, dia langsung pulang
untuk menyelamatkan isteri dan anaknya. Namun terlambat. Gubuknya sudah
terbakar habis. Seluruh isinya tlah jadi arang. Asap masih mengepul. Bara masih
menyala merah di mana-mana. Dengan histeris tanpa memperdulikan bara yang
terinjak kaki dan hawa panas yang masih menyengat kulit, lelaki itu terus
mencari isteri dan anak semata wayangnya itu. Tapi nasi sudah jadi bubur.
Isterinya ditemukan tergeletak tak bernyawa di dekat sumur. Perempuan yang
sangat dicintainya itu terlihat sedang memeluk anaknya yang nyaris seluruh
tubuhnya terbakar.
Dengan mata berkaca-kaca menahan kesedihan sekaligus kemarahan
yang amat sangat, lelaki itu berteriak histeris.
Dia segera mengambil anak itu dan memeluknya. Setelah mencium
kening isterinya untuk yang terakhir kali, Ki Singalodra langsung melompat ke
atas kuda hitamnya. Dengan sekali gebrak, kuda itu melesat pergi meninggalkan
dusunnya.
Londo anjing!!!
Belanda telah menggali kapak peperangan dengan dirinya! Sia-sia
saja selama ini dia mengabdi pada mereka, jika balasan yang diterimanya
ternyata seperti ini! Tekadnya telah bulat. Yang dulu kawan mulai malam ini
menjadi lawan terbesarnya. Sekarang juga dia akan bergabung dengan pasukan
Kanjeng Pangeran Diponegoro yang tengah menyusun kekuatan untuk memerangi
Belanda dari Tegalredjo dan Selarong.
Aku akan menjadi pedang yang
paling tajam bagi Gusti Kanjeng Pangeran!
Bagi warga Merapi hingga sekitar Laut Kidul, nama Ki Singalodra
sudah tak asing lagi. Sejak pulang dari bertapa dan berguru di berbagai gua,
lembah, dan gunung beberapa tahun lalu, Ki Singalodra kembali ke dusunnya di
Ngampilan dan menantang semua jagoan di sana. Tidak saja di Ngampilan, lelaki
ini juga berkeliling untuk mengadu kesaktian melawan para jagoan lainnya di
sekitar Merapi, Merbabu, Dieng, dan Lawu. Walau sempat beberapa kali kepayahan
dan menderita luka dalam sejumlah perkelahian, namun kecerdikan dan
kenekatannya membuat dirinya keluar sebagai pemenang. Sosok Ki Singalodra
menjadi sosok yang ditakuti. Dia pun akhirnya bisa mempersunting gadis idaman
hatinya, bunga Dusun Ngampilan, yang sejak kecil telah mencuri perhatiannya.
Ketenaran namanya didengar langsung Residen Yogyakarta. Pejabat
Belanda ini akhirnya memerintahkan kepala pasukan setempat untuk merekrutnya.
Tetapi karena Ki Singalodra tidak mau ditempatkan sebagai kepala regu pasukan
reguler yang harus bekerja tiap hari dan wajib memiliki disiplin tinggi,
akhirnya dia dipekerjakan sebagai tenaga khusus.
Sekarang, Ki Singalodra sama sekali tidak menyangka.
Pengabdiannya yang total selama ini kepada Belanda, ternyata dibalas dengan
sangat menyakitkan.
Ibarat pepatah, air susu dibalas dengan air tuba.
Sebab itu, tidak ada jalan lain. Mulai malam ini, dia akan
mengubah haluan hidupnya seratus delapan puluh derajat. Dendamnya teramat
sangat besar. Darah harus dibalas dengan darah. Nyawa harus diganti nyawa.
Kedua matanya merah menyala-nyala.
Belanda, Patih Danuredjo, dan
orang-orang kraton cecunguk asing itu sekarang menjadi musuh terbesarku!
Kedua mata jagoan dari Dusun Ngampilan itu lagi-lagi melotot
garang. Dadanya sesak oleh amarah dan dendam.
Jalan tanah selebar tiga meter di depannya mulai menanjak lurus.
Sebentar lagi dia akan tiba di pelataran menuju Gua Selarong, di mana Kanjeng
Pangeran tengah berada. Mengingat sosok Pangeran Diponegoro, hatinya diliputi
perasaan yang aneh. Antara semangat yang membara dan kerinduan yang teramat sangat.
Inilah jalanku!
Tiba-tiba kudanya berhenti dan mengangkat kedua kakinya
tinggi-tinggi. Ringkikannya memecah keheningan malam yang sepi. Hampir saja Ki
Singalodra terjatuh jika dia tidak kuat menahan tali kekangnya. Dia segera
merapatkan tubuhnya dengan leher kuda sehingga keseimbangannya tetap terjaga.
Sebelah tangannya tetap kuat mendekap tubuh anaknya. Tak jauh di depannya,
empat lelaki dengan mengenakan baju wulung hitam dan ikat kepala yang juga
hitam mencegatnya dengan tombak dan pedang terhunus. Salah satunya membawa obor
di tangannya.
“Berhenti!” teriak mereka.
“Hendak kemanakah kisanak dan
siapa yang digendong itu!” teriak salah satunya. Dengan penuh kewaspadaan,
lelaki yang satu itu mendekati Ki Singalodra dari sisi kanan. Sedangkan yang
satunya lagi bergerak menyamping ke sisi yang berlainan. Dua lelaki lainnya
masih berdiri menghadang dengan senjata terhunus.
Ketika lelaki itu melihat wajah Ki Singalodra dengan jelas,
wajah yang tak asing lagi dan sangat ditakuti orang-orang kampung, nyalinya
agak bergetar. Namun bayangan sosok Kanjeng Pangeran Diponegoro yang setiap
waktu memberinya nasehat keagamaan membuat dirinya kuat dan berani.
“Takutlah kalian hanya kepada
Allah Subhana wa Ta’ala, bukan kepada mahluk-Nya. Allah Maha Kuat, sedang
mahluknya sangatlah lemah…”
Tangan lelaki itu memperkuat genggaman tangannya pada gagang
pedangnya, “Ternyata kau Singalodra. Hendak kemana engkau malam ini dan siapa
lagi itu yang kau bunuh!”
Dengan penuh amarah, Ki Singalodra menjawab, “Ini anakku!
Minggir kalian semua! Isteri dan anakku mati malam ini dibunuh Belanda! Aku mau
menghadap Gusti Kanjeng Pangeran!”
Keempat lelaki yang menghadangnya tak percaya.
“Apa katamu? Bukankah engkau pelayan kafir Belanda! Janganlah
berdusta. Pulanglah sekarang. Kembalilah kepada tuanmu itu sebelum kami
membunuhmu!”
“Wahai prajurit, aku bicara jujur. Aku sekarang ingin menghadap
Gusti Kanjeng Pangeran. Aku mau bergabung dengan kalian. Jika kalian masih saja
menghadangku, maka terpaksa tanganku ini yang akan berbicara!” bentak Ki
Singalodra dengan suara mengguntur. Semua orang tahu, Ki Singalodra memiliki
ajian Brajamusti, suatu ilmu pukulan yang sangat mematikan. Bahkan korbannya
bisa hangus terkena pukulan itu.
Keempat lelaki bersenjata pedang dan tombak itu bergerak mundur
sesaat, namun mereka masih mengepung Ki Singalodra dengan penuh kewaspadaan.
Pedang dan tombak masih terhunus. Masing-masing terdiam sejenak dalam situasi
saling menunggu. Namun tiba-tiba suara derap kuda terdengar mendekat dari arah
Gua Selarong.
“Tunggu! Berhenti! Siapa itu!”
Dalam formasi masih mengepung Ki Singalodra, keempat prajurit
itu menoleh ke arah datangnya suara. Dari pekatnya malam, muncul seorang
penunggang kuda dengan wajah yang sangat berwibawa. Sorot matanya tajam dengan
kumis melintang. Ki Singalodra tahu, lelaki ini pastilah Ki Guntur Wisesa,
seorang ulama yang juga pendekar dari lereng utara Gunung Merapi yang telah
bergabung dengan barisan perlawanan Kanjeng Pangeran Diponegoro sejak dua tahun
lalu. Dia belum pernah bertanding dengan orang ini karena Ki Guntur selalu saja
menghindar dan sama sekali tidak tertarik untuk melakukan uji kesaktian
melawannya.(Bersambung)
Ketika melihat Ki Singalodra yang berkuda sambil menggendong
seorang bocah yang berlumuran darah, Ki Guntur Wisesa menyapanya lembut, “Assalamu’alaikummusalam
warahmatullahi wabarakatuh, wahai Singalodra. Apa gerangan yang
membawamu ke sini! Anak siapa yang kau bawa itu?”
Ketika mendengar sapaan yang lembut, hati Ki Singalodra yang
tadinya panas mendadak sejuk, bagai bara api tersiram air pegunungan.
“Wa’alaikumusalam… Aku
ingin bergabung dengan barisan Kanjeng Gusti Pangeran, wahai Ki Guntur Wisesa.
Ini anakku, Surya Mandriga. Dia mati dibunuh Belanda tadi malam, juga isteriku…
Izinkan aku menghadap Kanjeng Gusti Pangeran sekarang juga.”
Ki Guntur Wisesa bergerak meminggirkan kudanya, memberi jalan
pada tamunya.
“Silakan Kisanak. Kami
akan mengawal Kisanak sampai di atas sana…”
“Terima kasih, Ki Guntur…”
Ki Singalodra mengangguk takzim pada ulama-pendekar itu dan
kembali memacu kudanya, namun tidak sekencang tadi. Kuda Ki Guntur Wisesa
berjalan di depan. Sedangkan keempat anak buahnya mengapit di kiri kanan dan
belakangnya. Mereka beriringan melintasi jalan utama yang terus menanjak menuju
Gua Selarong yang berada di bawah sebuah bukit batu yang besar.
Setibanya mereka di pelataran yang landai di mana di hadapan
mereka terbentang batu karang yang besar dengan sebuah tangga batu menuju ke
atas, Ki Guntur Wisesa memberi aba-aba dengan sebelah tangannya yang diangkat
ke atas.
“Ya, kita berhenti sampai disini. Kita turun dan berjalan kaki
ke atas sana.”
Ki Guntur yang mengenakan pakaian serba putih melompat dari kuda
dan menambatkannya pada salah satu pokok pohon yang ada di pinggir pelataran.
Ki Singalodra juga melompat turun dari kudanya sambil masih menggendong Surya
Mandriga.
“Mari Kisanak, ikut
aku,” ajak Ki Guntur Wisesa. Dia menghampiri Ki Singalodra dan menawarkan diri
untuk membantu menggendongkan anaknya. Namun Ki Singalodra menolaknya.
“Biar aku saja… Tolong tunjukkan saja jalannya.”
Kemudian Ki Guntur memerintahkan seorang anak buahnya berlari
terlebih dahulu ke atas untuk memberitahukan kedatangan Ki Singalodra kepada
Kanjeng Pangeran Diponegoro. Anak buah itu segera berlari ke atas.
“Sekarang kita tunggu dulu
disini, Kisanak…,” ujar Ki Guntur.
Ki Singalodra menganggukkan kepala dan tetap berdiri dengan
tegap di ujung bawah susunan bebatuan yang membentuk anak tangga menuju ke gua
yang ada di atasnya.
Tak lama kemudian, anak buah yang tadi ke atas tampak
berlompatan menuruni anak tangga yang sama. Dia langsung melapor kepada Ki
Guntur yang berdiri di sisi kanan Ki Singalodra.
“Kanjeng Gusti Pangeran siap menerimanya….”
Anak buah itu kemudian bergerak menggeserkan badannya ke
samping, memberi jalan kepada Ki Guntur dan Ki Singalodra. Keduanya lalu
berlompatan bagai Kijang Kencana menaiki tangga batu yang cukup curam. Hanya
dengan beberapa kali hentakan loncatan, badan mereka sudah melambung ke atas
dengan cepat. Keempat prajurit muda yang melihatnya hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya dengan takjub. Mereka segera menyusul kedua orang itu dengan berlari
menaiki tangga.
Setibanya di atas, Ki Singalodra tampak sedang diterima Pangeran
Diponegoro. Ustadz Muhammad Taftayani, Pangeran Ngabehi Jayakusuma alias
Pangeran Bei[1], Ki Guntur Wisesa, dan beberapa alim-ulama lainnya yang
seluruhnya berpakaian putih-putih tampak mendampinginya.
Semuanya menyandang senjata. Ada yang menyelipkan keris di
pinggang, ada pula yang memegang pedang.
Sebagaimana kawulo-alit yang
bertemu dengan rajanya, sambil terus memeluk jasad anaknya, Ki Singalodra
segera berlutut. Dengan kepala menunduk, lelaki dengan janggut dan cambang yang
lebat ini berkata pelan, “Kanjeng Gusti Pangeran, hamba….”
Belum selesai lelaki itu mengucapkan perkataannya, Pangeran
Diponegoro yang mengenakan jubah serba putih lengkap dengan surban hijau lembut
yang menutupi sebagian kepalanya menyapa dengan lembut,
“Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh wahai Ki Singalodra… Semoga Allah Subhana wa ta’alaselalu
melindungi, merahmati, dan memberkati Kisanak…”
Badan Ki Singalodra menggigil mendengar suara yang sangat
berwibawa itu. Entah mengapa, mendengar salam dari orang-orang berjubah itu dia
merasakan satu getaran yang aneh di dalam dirinya. Getaran yang tidak pernah
dia rasakan sebelumnya. Ki Singalodra tidak berani mengangkat wajahnya dari
tanah. Dia tidak menjawab apa pun. Bibirnya yang juga bergetar bagaikan
terkunci rapat.
“Bangunlah saudaraku. Tidak
perlu berlutut seperti itu. Kita adalah sama. Semua manusia itu sederajat. Yang
membedakan di antara manusia bukanlah keturunan, pangkat, atau jabatan,
melainkan ketakwaannya kepada Allah subhana wa ta’ala…,”
ujar Diponegoro lagi.
Lelaki dengan pakaian serba hitam itu perlahan bangun dan
berdiri. Tangannya tetap memeluk jasad anaknya dengan erat. Ki Singalodra masih
saja tidak berani menatap langsung wajah Diponegoro. Dia hanya melihat ke
bawah.
“Gerangan apa yang membuatmu ke
sini Kisanak?”
“Maafkan saya Kanjeng Gusti Pangeran… Saya ingin bergabung
dengan Kanjeng Gusti Pangeran…”
Diponegoro tersenyum. Ustadz Muhammad Taftayani yang berdiri di
samping Diponegoro membisikkan sesuatu ke telinga anak didiknya itu, “Sebaiknya
kita urus dahulu jenazah anak itu…”
Pangeran Diponegoro mengangguk dan memanggil dua pengawalnya
untuk mengurus jenazah anak dari Ki Singalodra itu.
“Maafkan saya Kisanak.
Sebaiknya jenazah anak Kisanak diurus terlebih dahulu dengan baik. Sebagai Muslim, kita
wajib memperlakukan jenazah dengan layak. Serahkan saja pada kita…”
Ki Singalodra segera menuruti perkataan Diponegoro. Dengan
hati-hati dan berlinang airmata dia menyerahkan jenazah puteranya itu kepada
dua orang pengawal yang segera menyambutnya.
Setelah jenazah anak itu dibawa, Pangeran Diponegoro berkata
kembali, “Nah, apakah seorang Ki Singalodra sungguh-sungguh ingin berjihad di
sisi kami dalam menegakkan kalimah tauhid di tanah Jawa ini? Mengusir kaum
kafir Belanda dari negeri ini?”
Dengan mantap lelaki itu mengangguk, “Ya, Kanjeng Gusti
Pangeran. Saya bersungguh-sungguh.”
“Apakah Kisanak mengetahui
apa yang sedang kami perjuangkan disini?”
“Melawan Belanda…?”
“Itu betul. Namun tujuan kami
lebih mulia dari itu semua. Belanda bukanlah musuh kami. Sebagaimana kami tidak
memusuhi Danurejo dan orang-orangnya. Musuh kami adalah kekufuran dan
kezaliman. Itu yang kami perangi. Kami tidak memerangi orang, tapi kami
memerangi sistem yang melawan perintah Allah. Kami memerangi sistem thagut.”
“Thagut…?”
“Ya. Sebelum bergabung dengan
kami, sebaiknya Kisanak bisa memahami dengan benar apa yang harus diperjuangkan
oleh kita semua, kaum Muslimin, di dalam hidupnya. Untuk itu, jika tidak
keberatan,Kisanak terlebih
dahulu akan mengikuti pengajian yang akan disampaikan Ki Guntur atau Ustadz
Taftayani. Beliaulah yang akan menerangkan kepada kita semua tentang apa dan
bagaimana seharusnya berperang di dalam Islam. Saya pun saat ini masih selalu
belajar memperdalam ilmu agama. Mari kita sama-sama belajar mendalami ilmu,
karena itu adalah perintah agama.”
“Berperang di dalam Islam..?”
“Ya. Itu benar, Kisanak. Jihad fi sabilillah namanya.
Semuanya nanti akan diterangkan oleh ustadz-ustadz yang ada di sini. Dan satu
lagi…”
Ki Singalodra mengkerutkan dahinya. Dia benar-benar tidak
mengerti apa yang dimaksudkan dengan perang dalam Islam. Baginya perang adalah
membunuh musuh sebanyak-banyaknya, mengalahkannya, hingga musuh takluk. Itu
saja.
Pangeran Diponegoro melanjutkan
kalimatnya, “…semua yang ada disini harus memperbaharui akidahnya. Jika Kisanak bersedia,
silakan mengikuti perkataan saya sekarang. Bagaimana?”
Lelaki berewokan itu menganggukkan kepalanya, “Baik Kanjeng
Gusti Pangeran, saya bersedia.”
“Nah, sekarang ikuti perkataan
saya...”
Di depan gua yang gelap pekat tanpa penerangan obor, dengan
perlahan namun jelas, Pangeran Diponegoro berjalan mendekati Ki Singalodra yang
masih berdiri mematung. Tanpa ragu Diponegoro mengangkat kedua tangannya
memegang kedua bahu lelaki itu. Kemudian dia mulai mengucapkan dua kalimah
syahadah yang diikuti kata demi kata oleh Ki Singalodra.
“Asyhadu ala Ilaha Ilallah… wa
asyhadu alla Muhammad ar-Rasulullahu... Saya bersaksi, tiada tuhan
yang patut disembah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah
Rasul utusan Allah…”
Dengan terbata-bata, jagoan dari Dusun Ngampilan yang jika
mendengar namanya saja orang kebanyakan bisa gemetar itu mengucapkan dua
kalimah syahadat. Ki Singalodra cukup cerdas. Sekali saja Diponegoro
menuntunnya, dia sudah bisa mengikutinya. Setelah selesai, semuanya mengucapkan
syukur.
“Alhamdulillahi Rabb al’Amien…“
Pangeran Diponegoro kemudian langsung memeluk Ki Singalodra
dengan hangat. Bagai pelukan seorang kekasih yang lama tak berjumpa. Sama
sekali tidak ada kecanggungan tampak di sana. Diponegoro, sang putera Sultan
Hamengku Buwono III, dengan sangat akrab dan hangat memeluk erat seorang jagoan
yang tangannya banyak berlumur darah orang lain. Hal ini langsung membuat hati
Ki Singalodra luluh. Lelaki ini lumer dan menangis terisak.
“Dosa-dosaku sudah banyak, Kanjeng Gusti Pangeran… Apakah ada
cara untuk menebusnya agar nanti saya bisa berkumpul dengan anak dan isteriku
di surga?”
Pangeran Diponegoro masih memegang kedua bahu Ki Singalodra.
Kedua matanya yang tajam tapi menyejukkan menatap langsung ke dalam mata lelaki
itu.
“Saudaraku, Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Semua dosa
umat-Nya akan diampuni asalkan kita mau bersungguh-sungguh bertobat, terkecuali
dosa syirik, yaitu dosa karena menyekutukan Allah dengan sesuatu. Dosa syirik
adalah dosa yang tak terampuni.”
“Bagaimana caranya agar saya bisa kembali berkumpul nanti dengan
keluargaku di surga?” ulang Ki Singalodra.
“Berjihadlah dengan ikhlas,
semata-mata demi tegaknya tauhid. Li ila kalimatillah. Asal
kita tidak berhutang pada orang lain, setiap orang yang menemui kematian di
jalan jihad, syahid fi sabilillah, dijamin Allah langsung masuk
surga…tanpa dihisab.”
Kedua mata Ki Singalodra berbinar. Wajahnya menjadi cerah.
“Terima kasih, Kanjeng Gusti Pangeran. Terima kasih. Saya akan berjihad
disamping Paduka.”
Ustadz Taftayani maju ke depan.
Dia kemudian menyalami dan juga memeluk Ki Singalodra. Setelah itu salah
seorang guru dari Pangeran Diponegoro ini berdiri dan memberikan sambutannya,
“Dahulu ketika menghadapi kaum musyrikin Quraisy, Allah subhana wa ta’ala mengirimkan
seorang Hamzah bin Abdul Muthalib, untuk memperkuat barisan kaum Muslimin.
Hamzah adalah Singa Allah dan Rasul-Nya. Dialah yang menjadi pahlawan Perang
Badr dan Uhud. Dan sekarang, Allah subhana wa ta’ala mengirimkan
bagi kita seorang Ki Singalodra yang gagah berani. Insya Allah,
dengan izin Allah, dengan bergabungnya Ki Singalodra, barisa kita akan
bertambah kuat. Cahaya kemenangan semakin dekat. Saya yakin, Ki Singalodra
adalah Hamzah yang dikirimkan Allah kepada kita. Allahu akbar!”
“Amien ya Rabb! Allahu akbar!”
teriak semua yang ada disitu. [] (Bersambung)
[1] Putera Sultan Hamengku Buwono II.
Bab 2
ISLAM TIDAK PERNAH BERSEKUTU
DENGANTHAGUT,
sebagaimana air yang tidak pernah bersatu dengan minyak, atau pun al-haq yang
tidak akan pernah berdamai dengan kebathilan. Ustadz Muhammad Taftayani
menegaskan salah satu prinsip Islam ini di dalam setiap pengajiannya. Seperti
juga malam ini, digelar ‘taklim dadakan’ yang hanya diikuti tujuh orang anggota
pasukan baru, yakni Ki Singalodra dan enam orang lainnya yang di antaranya para
senopati terpilih yang sengaja dikirim oleh Raja Surakarta, Kanjeng Susuhunan
Paku Buwono VI[1] yang juga merupakan keponakan Diponegoro. Hal ini dilakukan
Paku Buwono VI untuk membantu persiapan perjuangannya pamannya itu.
Selain sejumlah senopati pilihan, Susuhunan Paku Buwono VI juga
mengirimkan pasukan-pasukan kraton terlatih dan dana perang yang tidak sedikit.
Di dalam gua dengan penerangan sebuah obor kecil di sudut
belakang, terhalang tiga gundukan batu yang besar, Ustadz Taftayani duduk
bersila di atas batu datar menghadap ke bagian pintu gua. Dari tempat
bersilanya, ulama dari Minangkabau yang sudah menetap di Tegalredjo tersebut
bisa melihat dua sosok prajurit yang berjaga di pintu masuk gua. Walau hanya
duduk, tidak berdiri seperti layaknya orang yang tengah berjaga, namun mereka
tetap waspada.
Malam ini, setelah bergabungnya
Ki Singalodra ke dalam barisan Mujahidin, beserta sejumlah orang baru, Ustadz
Muhammad Taftayani segera menggelar pengajian yang bertujuan untuk menyamakan
persepsi tentang perjuangan yang tengah dipersiapkan melawan kafir Belanda dan
antek-anteknya. Semua anggota pasukan Diponegoro harus memiliki persepsi yang
sama di dalam jihad fi sabilillah, sebab itu, setiap ada anggota
baru yang bergabung, maka dia setidaknya harus melewati tiga tahapan penting:
bertobat dan memperbaharui syahadatnya, serta memiliki pemahaman yang lurus dan
benar tentang makna jihad di Jalan Allah.
Materi pertama malam ini adalah
akidah atau Panji Syahadatain. Salah satu bagiannya mengupas
tentang Thagut atau ‘tuhan yang lain’.
Dengan suara yang pelan namun
jelas, Ustadz Taftayani menerangkan, “…Thaghut merupakan
tuhan selain Allah subhana wa ta’ala. Segala pandangan hidup,
keyakinan, hukum, norma, peraturan, tradisi, dan sebagainya yang tidak berasal
dari hukum Allah, atau malah bertentangan dengan syariat dan akidah Allah, maka
itulah Thagut…
Apakah ada yang ingin bertanya?”
Ki Singalodra mengacungkan
tangannya, “Ustadz, apakah bea kerig-aji[2]juga
bisa dianggap sebagaiThagut?”
“Bea kerig aji, sama
saja dengan bea pacumpleng[3], bea pangawang-awang[4], bea pajigar[5], bea wikah-welit[6], bea pajongket[7], bea bekti[8], bea jalan, bea pertunjukan[9], bea penimbangan[10], dan
banyak lagi yang lainnya. Semua ini merupakan sebagian kecil dari banyak sekali
jenis-jenis pajak yang dibebankan penjajah kafirin Belanda kepada rakyat kecil.
Jika tidak salah, sekarang ini ada lebih dari 34 jenis pajak yang harus
dibayarkan rakyat kepada pemerintah kafir Belanda. Berbagai pajak ini amat
menyusahkan rakyat kecil yang memang hidupnya melarat. Kezaliman ini tentu
bertentangan dengan Islam. Dan sistem kekuasaan seperti ini, dimana rakyatnya
hidup susah, namun para pejabatnya hidup bermewah-mewah, jelas merupakan sistem Thagut.
Sistem ini harus diakhiri, dihancurkan, dan diganti dengan sistem yang adil….”
“Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh…” Tiba-tiba Pangeran Diponegoro sudah berada di dalam gua
bergabung dengan mereka.
“Wa’alaikumusalam warahmatullahi
wabarakatuh...,” jawab Ustadz Taftayani dan seluruh yang hadir. Sang
Pangeran kemudian duduk bersila di belakang Ki Singalodra. Ketika menyadari
siapa yang duduk di belakangnya, lelaki brewokan itu segera bergeser untuk
memberi ruang kepada Diponegoro. Dia benar-benar tidak enak hati jika harus
duduk membelakangi Kanjeng Pangeran. Tetapi Diponegoro dengan lembut malah
menahannya.
“Biarlah saya di sini saja. Kisanak tetap
di situ…,” bisiknya sambil tersenyum.
Ki Singalodra tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap duduk pada
tempatnya semula. Walau hatinya merasa teramat sungkan.
“Pangeran,” ujar Taftayani. “…
kita disini sedang membahas pajak dan Thagut.
Apakah ada yang ingin ditambahkan?”
“Apakah soal pajak di Tanah Jawa ini sudah disinggung, Ustadz?”
“Sedikit. Silakan paparkan…”
Diponegoro terdiam seperti tengah mencari sesuatu. Mungkin
kalimat pembuka. Dia kemudian mulai berbicara. Suaranya terdengar halus, namun
mengandung kekuatan.
“Pajak awalnya diniatkan sebagai salah satu cara untuk mengisi
pundi-pundi kas suatu negeri, agar negeri tersebut dapat mengelola dan
membangun wilayahnya, termasuk rakyatnya…,” paparnya.
Kemudian dia melanjutkan,
“…Keberadaan pajak sangat penting, jika suatu negeri memang tidak punya sumber
lain yang bisa dimanfaatkan, misalnya sumber daya atau kekayaan alam. Namun
tidak di Tanah Jawa, tidak juga di Nusantara. Allah subhana wa ta’ala telah
menitipkan sebagian kekayaan yang ada di surga di tanah ini. Tanah ini sangat
subur. Emas permata ada di mana-mana. Belum lagi kekayaan alam lainnya, baik
yang ada di darat, laut, maupun udara. Kalau dikelola dengan baik, negeri ini
bisa memakmurkan rakyatnya tanpa memungut pajak sedikit pun. Memungut pajak di
negeri yang kaya seperti di Tanah Jawa ini adalah haram hukumnya…”
Ki Singalodra dan keenam orang lainnya hanya tertegun mendengar
kalimat yang disampaikan Pangeran Diponegoro. Sangat jelas dan tegas.
“Lantas mengapa kafir Belanda memajaki rakyat kita seperti
sekarang? Bahkan orang-orangnya Patih Danuredjo juga memusuhi rakyatnya
sendiri…” tanya Pangeran Diponegoro. Kemudian dia sendiri yang menjawabnya,
“Karena kafir Belanda adalah penjajah bagi bangsa ini. Penjajah selalu
melakukan perampokan terhadap bangsa yang dijajahnya. Baik perampokan yang
dilakukan terang-terangan, juga perampokan yang dilakukan secara diam-diam,
atau berkedok macam-macam, ya seperti pajak yang sekarang ada. Pajak sekarang
ini sudah menjadi sumber bagi pejabat untuk memperkaya diri sendiri dan
keluarganya. Para pejabat di negeri ini kian hari kian rakus dengan kelezatan
dunia. Kegilaan mereka ini tidak pernah terpuaskan. Yang menjadi korban adalah
rakyat kebanyakan…”
“Apakah sebab itu kita harus
memerangi mereka? Bagaimana berperang atau jihad fisabilillah itu?”
tanya salah seorang senopati yang kemarin baru dikirim Paku Buwono VI.
Diponegoro menengokkan wajahnya ke arah Ustadz Taftayani. Namun
ustadz itu malah mempersilakan Diponegoro untuk menanggapinya, “Silakan
Pangeran…”
“Perang di dalam Islam bersifat
membebaskan,” jawab Diponegoro, “…sebab itu, jika suatu kota atau negeri telah
ditaklukkan oleh kaum Muslimin, maka istilahnya bukanlah penaklukan, kalah, dan
sebagainya, tetapi Futuh. Futuh berasal dari bahasa arab yang berarti
‘pembebasan’ atau ‘membebaskan’. Membebaskan dari apa? Yaitu membebaskan
manusia dari penghambaan kepada selain Allah subhana wa ta’ala, baik
itu ketundukan kepada hukum yang zalim, sistem yang salah, penguasa yang korup,
dan sebagainya. Itulah esensi perang di dalam Islam, membebaskan manusia dari
kebathilan dan kezaliman…”
Mendengar itu, Ustadz Taftayani tersenyum puas. Dia benar-benar
menyayangi murid yang satu ini. Ulama rendah hati dari tanah seberang ini tahu
jika Pangeran Diponegoro, yang terlahir dengan nama Bendoro Raden Mas Mustahar,
yang kemudian dikenal sebagai Bendoro Raden Mas Ontowiryo, pada 11 November
1785 di Kraton Yogyakarta ini memiliki banyak keistimewaan.
Diponegoro[11] adalah anak
tertua dari Sultan Hamengku Buwono III dan Raden Ayu Mangkarawati. Ketika
melihat dan memangku bayi Diponegoro, Sultan Hamengku Buwono I haqul yaqin jika
suatu hari nanti Diponegoro akan tumbuh menjadi pembebas rakyat dari kezaliman
dan kesengsaraan.
“Bayi ini akan menjadi orang yang memimpin perang besar untuk
mengusir penjajah Belanda dari tanah Jawa. Dia akan menimbulkan kerusakan yang
sangat besar pada kafir Belanda. Dia akan menjelma menjadi orang besar yang
dicintai rakyatnya, melebihi diriku,” tegas Sultan Hamengku Buwono I yang juga
kakek buyut dari Diponegoro. Sebab itu, Sultan secara khusus mengamanahkan agar
bayi Diponegoro kelak diasuh dan dididik permaisurinya sendiri, Ratu Ageng.
(Bersambung)
[1] Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI lahir di Surakarta, 26
April 1807 dan meninggal dalam pembuangan Belanda di Ambon, pada tanggal 2 Juni
1849. Nama aslinya Raden Mas Sapardan. Beliau naik tahta dalam usia 16 tahun
dan setahun kemudian, dalam usia 17 tahun, beliau telah menjadi pendukung
perjuangan Pangeran Diponegoro yang loyal walau terikat perjanjian dengan
Belanda. Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849.
Menurut keterangan resmi Belanda, beliau meninggal karena kecelakaan saat
berpesiar di laut.
Di tahun 1957, jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke
Astana Imogiri, kompleks makam keluarga raja Mataram. Pada saat makamnya
digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi.
Menurut analisis Jenderal TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putera Pakubuwana X),
lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle. Ditinjau dari letak
lubang, kematian Pakubuwana VI jelas ditembak pada bagian dahi, bukan kecelakaan.
[2] Pajak atas kepala atau pajak yang dikenakan pada setiap
orang, besar dan kecil tanpa perkecualian.
[3] Pajak atas pintu rumah.
[4] Pajak atas pekarangan rumah.
[5] Pajak atas hewan ternak.
[6] Pajak atas kepemilikan lahan kebun atau sawah, walau luasnya
hanya sedikit.
[7] Pajak yang dikenakan bila hendak pindah rumah.
[8] Pajak jika seseorang bertukar tuan tanah atau majikan.
[9] Pajak pertunjukkan resminya dikenakan pemerintah kepada
warga desa jika ada pertunjukkan kesenian atau hiburan lainnya. Namun nyatanya,
walau tidak pernah ada pertunjukkan hiburan, rakyat tetap diharuskan membayar
jenis pajak ini.
[10] Pajak penimbangan padi dilakukan ketika panen. Tapi
faktanya, seperti juga pajak pertunjukkan, padi-padi hasil panen para petani
tidak pernah ditimbang, namun tetap dikenakan pajak. Bahkan banyak petani
miskin diwajibkan kerja di lahan pertanian milik bupati tanpa dibayar sepeser
pun.
[11] Nama asli Diponegoro adalah Bendoro Raden Mas (BRM)
Mustahar. Lahir di keraton Jogyakarta, pada Jum’at Wage, 7 Muharram Tahun Be
(11 Nopember 1785). Tahun 1805, Sultan HB II mengganti namanya menjadi Bendoro
Raden Mas (BRM) Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar Pangeran baru
disandangnya sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta
Di masa itu,
perempuan-perempuan dan laki-laki Jawa-termasuk di kalangan bangsawan
kraton-lazim menikah di usia yang masih relatif sangat muda. Ketika Diponegoro
dilahirkan, Raden Ayu Mangkarawati, sang ibu, masih berusia 14 tahun, dan
ayahnya 16 tahun[1]. Dan sudah menjadi kelaziman jika sang anak kemudian diasuh
oleh nenek atau buyutnya. Hal ini merupakan tradisi leluhur agar sang anak
mendapatkan pendidikan dan pengasuhan yang benar dari seseorang kerabat yang
jauh lebih matang dan dewasa. Suatu konversi budaya yang saat ini sudah punah.
Sesuai amanah khusus dari Hamengku Buwono I, bayi Diponegoro
diasuh oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng. Ratu Ageng dikenal sebagai seorang
permaisuri yang sangat taat pada agama dan luas ilmunya. Sampai tahun 1792,
ketika suaminya masih berkuasa, Ratu Ageng mengasuh Diponegoro di kraton dan
kemudian meneruskannya di Puri Tegalredjo setelah suaminya wafat.
Selain seorang pendidik, Ratu
Ageng juga merupakan Panglima Bregada Langen Kesuma-kesatuan
pasukan elit khusus perempuan pengawal raja, seperti hanya Trisat Kenya di
zaman Amangkurat I-pada masa kekuasaan Mangkubumi.
Bregada Langen Kesuma merupakan kesatuan khusus pengawal raja
yang sangat tangguh. Walau semua anggotanya perempuan, namun pasukan berkuda
ini dilengkapi dengan senjata api laras panjang dan pendek, pedang, keris,
tombak, trisula, dwisula, dan lain sebagainya. Keterampilan mereka dalam olah
senjata dan olah kanuragan jangan diragukan lagi.
Ada sebuah kisah yang terjadi pada bulan Juli 1809. Ketika itu
Marshall Hermann Wilhelm Daendels berkunjung ke Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Dalam salah satu jamuan penyambutan, diperlihatkan atraksi dari
Bregada Langen Kesuma dan dia terkagum-kagum melihat atraksi pasukan khusus
perempuan ini. Sejarawan Carey mengatakan jika Langen Kesuma merupakan
satu-satunya kesatuan militer pribumi yang mampu membuat Daendels berdecak
kagum ketika melihatnya.
Selain Daendels, J. Greeve bersama Residen Surakarta Hartsinch
juga pernah menyaksikan Bregada Langen Kesuma ini. Mereka disambut dengan salvo
senapan dan meriam yang dipergilirkan dengan amat sempurna.
Markas dari kesatuan istimewa ini berada di Pesanggrahan
Madyaketawang. Lapangan latihan menembak bagi pasukan ini berada di alun-alun
Pungkuran, di selatan kraton. Serat Rerenggan Karaton, Pupuh XXII, Sinom,
menyebutkan:
“Sanggrahan Madya Ketawang,
lamun miyos Sri Bupati, pratameng Langenkusuma, lir priya praboting jurit,
tinonton saking tebih, saengga priya satuhu, samya munggeng turangga, myang yen
gladhi neng praja di, angreh kuda neng ngalun-alun pungkuran.”
Artinya lebih kurang sebagai: “Di Pesanggrahan Madyaketawang,
dan datanglah Sri Bupati (maksudnya Sri Sultan) untuk menyaksikan mereka,
seorang perempuan yang menjadi pemimpin pasukan Langen Kesuma, penampilannya
mirip prajurit lelaki, dilihat dari jauh, tampak seperti prajurit laki-laki
sungguhan, semua naik kuda, menuju tempat latihan di ibukota, yaitu di
Alun-alun Pungkuran.”
Selain menempa pasukan khusus perempuannya dengan ilmu perang dan
kanuragan, Ratu Ageng juga membekali mereka dengan ilmu agama sehingga pakaian
pasukan ini terbilang sangat sopan, dengan tetap mengedepankan kebebasan gerak
untuk berperang. Ratu Ageng sebagai pengasuh Pangeran Diponegoro adalah
panglima pasukan khusus ini. Bukan hanya sebagai panglima, Ratu Ageng juga
merupakan seorang permaisuri raja yang sangat peduli dengan nilai-nilai
keislaman. Sebab itulah, selain menempa seorang Diponegoro dengan cara-cara
seorang ksatria, Ratu Ageng juga membekali cicit kesayangannya ini dengan ilmu
agama yang cukup dalam.
Namun berbeda sikapnya dengan Diponegoro, terhadap anak
kandungnya sendiri Ratu Ageng malah tidak akur. Ini disebabkan karena Raden Mas
Sundoro dianggap tidak taat dalam menjalankan perintah agama, walau Raden Mas
Sundoro sendiri dikenal sangat anti terhadap penjajah Belanda.
Sebab itulah, ketika Hamengku Buwono I turun tahta dan
digantikan oleh Raden Mas Sundoro yang kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono
II di tahun 1792, Ratu Ageng memilih untuk keluar dari lingkungan kraton yang
dianggapnya sudah cemar oleh tradisi kafir Belanda. Ratu Ageng lebih memilih
tinggal di sebuah dusun terpencil yang kelak dikenal sebagai Tegalredjo,
berjarak sekira tiga kilometer barat kraton. Diponegoro ikut diboyong keluar dari
kraton dan tinggal di dusun di tengah-tengah rakyatnya sendiri.
Dari Kraton, Puri Tegalredjo tepat berada di arah barat laut,
arah yang dijadikan kiblat bagi umat Islam di Nusantara untuk sholat. Di dalam
kompleks puri, Ratu Ageng juga membangun sebuah masjid di sebelah barat laut
bangunan utama puri yang berupa pendopo utama.
Karena dibesarkan dalam
lingkungan kawulo alit atau rakyat kecil, maka dalam jiwa
seorang Diponegoro tumbuh rasa kepedulian yang sangat besar kepada orang-orang
kecil. Apalagi sejak kecil Diponegoro melihat dengan mata kepalanya sendiri
betapa seorang Ratu Ageng, permaisuri seorang raja, tidak merasa rendah ketika
harus bergaul dengan kawulo alit. Bahkan Ratu Ageng ikut terjun langsung
bercocok tanam di sawah dengan kaki dan tangan penuh lumpur. Ratu Ageng harus
bekerja, karena dia harus menghidupi keluarganya sendiri disebabkan dia menolak
bantuan keuangan dari kraton yang dianggapnya sudah dikotori oleh kemaksiatan
dan kezaliman.
“Akan jauh lebih mulia di hadapan Allah jika aku bekerja dengan
tangan dan kakiku sendiri, ketimbang hidup dengan bertumpu pada uang kotor yang
berasal dari memeras keringat dan darah rakyat!” tegasnya.
Diponegoro juga melihat betapa
Ratu Ageng sangat gandrung pada literatur-literatur keagamaan,
sejarah, dan juga sastra, sehingga rumahnya yang sederhana di Tegalredjo
bagaikan sebuah perpustakaan kecil. Sebaliknya, terhadap harta benda, Ratu
Ageng tidak memiliki minat yang besar. Dia hanya memiliki barang-barang primer
yang memang dibutuhkan dalam rumah tangga seperti kebanyakan orang.
Semua pengajaran yang diberikan
Ratu Ageng dan para ulama yang dipanggil maupun yang didatangi langsung oleh
Diponegoro muda menyebabkan Pangeran Diponegoro menjadi seorang pemuda yang
bersahaya. Seluruh kehidupannya diusahakan dengan keras mengikuti teladan
Rasulullah SAW. Dia sering menyamar sebagai orang kebanyakan, mengenakan ikat
kepala dan kain wulung dan berbaju hitam. Diam-diam dia sering membaur bersama
para santri di pondok-pondok pesantren di pedesaan dengan menggunakan nama
samaran Ngabdurakhim. Di saat samarannya hampir terbongkar,
dia akan segera pindah ke pondok pesantren yang lain. Selain itu, Diponegoro
juga senang mengembara, keluar masuk hutan, tinggal di gua-gua untuk
menyendiri, dan menatap lama-lama deburan ombak dan langit Laut Kidul.
Pangeran Diponegoro tahu betul,
kehidupan para pembesar kraton yang sebagian besar masih kerabatnya, kian hari
malah kian jauh dari tuntunan agama. Para pejabat kraton yang notabene sudah
memeluk Islam, semakin hari malah semakin mesra dengan kafir Belanda. Islam
bagi mereka hanyalah identitas formal, sedangkan kelakuannya sudah tidak ada
beda lagi dengan kelakuan kaum kafir Belanda yang menyukai dansa-dansi sampai
pagi, minum-minuman keras, gila harta dan judi dengan taruhan gadis-gadis
penari.
Martabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang tadinya begitu
tinggi dan mulia kini sudah cemar, dikotori kafir Belanda dan sebagian besar
pembesar kraton sendiri yang sudah lupa dengan jatidirinya.
Sebab itu, ketika Hamengku Buwono III, ayah kandungnya, hendak
menobatkannya sebagai putera mahkota-walau Diponegoro bukan berasal dari
permaisuri, namun selir-dengan tegas dia menolaknya. Ustadz Taftayani tahu,
penolakan Diponegoro lebih disebabkan ketidaksukaannya terhadap campur tangan
Belanda dalam kekuasaan kraton. Bahkan pengangkatan seorang raja pun harus
disetujui Belanda dan Residen Belanda-lah yang melantik seorang raja.
Diponegoro amat muak dengan semua ini. Itulah yang melatarbelakangi
penolakannya untuk menjadi raja di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dengan penuh keikhlasan, dia menunjuk adiknya yang masih belia,
Raden Mas Jarot, untuk menerima posisi sebagai putera mahkota. Dihadapan
orang-orang terdekatnya, Diponegoro ketika itu mengatakan,
“Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau
saya lupa, tolong ingatkan pada saya, bahwa saya bertekad tidak mau dijadikan
pangeran mahkota, walau pun seterusnya akan diangkat menjadi raja, seperti ayah
atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin itu terjadi. Cukuplah saya menjadi
seperti apa yang ada sekarang, dekat dengan Gusti Allah dan rakyatku. Saya
bertobat kepada Allah Yang Maha Besar. Hidup di dunia tiada akan lama dan saya
tidak ingin hidup saya ini nantinya dikotori oleh kafir Belanda. Saya tidak
ingin hidup dengan menanggung dosa…”[2]
Bagi Diponegoro, kehidupan penuh glamor di dalam kraton sama
sekali tidak menarik hatinya. Baginya kraton adalah tempat yang penuh dengan
dosa, dan dia tidak mau ikut terkotori. Diponegoro lebih menyukai hidup dan
berada di tempat yang sepi, untuk mencari kesejatian dan makna hidup, menggali
ilmu agama, dan pengetahuan yang bermanfaat.
Seorang Diponegoro lebih menyukai menjalin silaturahim dengan
para alim-ulama dan rakyat biasa, ketimbang berdekat-dekatan dengan penguasa.
Sejumlah ulama besar yang dekat dengan Diponegoro antara lain Kiai Muhammad
Bahwi, penghulu utama kraton, lalu Haji Baharudin yang menjadi Komandan Pasukan
Suronatan, Kiai Kasongan, Kiai Papringan, juga dengan Kiai Baderan ayah dari
Kiai Mojo, dan lain-lain. Dan seorang Ustadz Muhammad Taftayani merasa
bersyukur bisa menjadi salah satu guru bagi orang yang berhati mulia ini.
“Ustadz… silakan lanjutkan paparannya. Saya hendak keluar
dahulu,” ujar Pangeran Diponegoro membuyarkan semua ingatan Muhammad
Taftayani[3] tentang murid kesayangannya itu.
“Astaghfirullah.. saya
melamun. Silakan Pangeran. Dan karena hari sudah semakin malam, pengajian kali
ini kita cukupkan sampai disini dahulu. Mudah-mudahan iman Islam yang kita
miliki mampu untuk mengikat hati kita semua dalam perjuangan yang sebentar lagi
akan mendatangi kita. Cepat atau lambat, semuanya akan diuji oleh perjuangan
ini. Saya berdoa agar Allah subhana wa ta’ala nanti
memasukkan dan mengumpulkan kita semua di dalam jannah-Nya. Amien ya Rabb.
Apakah kisanak semua masih ada pertanyaan?”
Ketujuh lelaki dewasa yang ada di hadapan Ustadz Taftayani
saling berpandangan dan kemudian menggelengkan kepala.
“Baiklah. Nanti kita akan
berkumpul kembali dalam pengajian berikutnya. Untuk saat ini saya cukupkan.Wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.“
“Wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarakatuh,” jawab semuanya.
Pengajian telah berakhir malam
itu. Para prajurit ada yang beristirahat, ada pula yang bertugas jaga.
Sedangkan dua senopati, sejumlah sesepuh, dan pimpinan pasukan lainnya
bergabung di sebuah rumah yang cukup besar di bagian bawah Gua Selarong.
Seperti yang dilakukan setiap malam, semuanya akan mendengar pemaparan
perkembangan terakhir situasi Yogyakarta dan juga kraton dari para telik sandiatau
mata-mata yang dikirim ke berbagai tempat. Pangeran Diponegoro akan langsung
memimpin pertemuan tersebut. [] (Bersambung)
[1] Bendoro Raden Mas Mustahar atau Bendoro Raden Mas Ontowiryo
atau Pangeran Diponegoro dilahirkan 11 November 1785. Ayahnya, Raden Mas Surojo
atau yang kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono III dilahirkan pada 20
Februari 1769.
[2] Kalimat yang diucapkan Pangeran Diponegoro ini tertulis di
dalam Babad Diponegoro jilid I hal.39-40.
[3] Menurut laporan Residen Belanda tahun 1805, Ustadz Taftayani
yang berasal dari Sumatera Barat itu mampu memberikan pengajaran dalam bahasa
Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama
pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat
Al-Mustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan,
Pangeran Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink,
1984, “Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19″, Penerbit Bulan
Bintang, Jakarta hal. 29).
Bab 3
SUROMENGGOLO BERSAMA TIGA
LELAKI LAINNYA sudah duduk bersila di ruangan agak besar berdinding bambu yang
tidak dilabur dengan kapur, sehingga bilik-biliki bambu yang mengikat dengan
saling-silang itu menampakkan keasliannya. Sebuah pelita kecil sengaja
diikatkan di pokok bambu, tepat di bagian tengah atas ruangan. Keempat orang
itu merupakan bagian dari pasukantelik sandi yang
sengaja dikirim Diponegoro ke daerah-daerah musuh untuk menggali informasi
sebanyak-banyaknya tentang berbagai hal.
Di luar, suara hewan malam terdengar bersahut-sahutan. Sesekali
di kejauhan, lenguhan monyet menimpali. Suaranya begitu memilukan, bagai
meneriakkan nasib rakyat pribumi yang terus-menerus menderita di bawah
kekejaman Belanda dan antek-anteknya.
Suromenggolo sungguh-sungguh kagum dengan Susuhunan Paku Buwono
IV. Keponakan dari Pangeran Diponegoro inilah-bersama Pangeran
Mangkubumi[1]-yang menganjurkan agar pamannya memilih Gua Selarong sebagai
basis perlawanan gerilya. Wilayah Selarong dengan beberapa guanya memang sangat
strategis. Tempatnya berada di ketinggian sebuah bukit, dikelilingi hutan yang
masih lebat walau tidak luas. Jalan dari dan menuju gua hanya satu dan itu pun
kecil sehingga sulit dilalui kereta yang ditarik kuda. Walau berada di ketinggian,
namun Gua Selarong yang berada di selatan Yogyakarta ini tak begitu jauh dengan
dengan garis pantai Laut Kidul, tempat yang disukai Diponegoro untuk tafakur .
Di bawah Gua Selarong terdapat perkampungan yang sudah ramai
oleh rumah penduduk. Walau demikian, kontur daerah ini memang menjadikannya
sangat cocok untuk dijadikan markas komando dalam kacamata militer.
Setelah menyimak dan menimbang saran dari Paku Buwono VI,
Pangeran Diponegoro akhirnya mengakui jika usul keponakannya tersebut memang
tepat. Gua Selarong memang sebuah benteng alami yang cukup tangguh.
Sebagai seseorang yang dididik dan dibesarkan panglima pasukan
khusus pengawal raja, Pangeran Diponegoro tahu banyak soal strategi perang.
Ratu Ageng tidak hanya memberinya pengetahuan keagamaan, tetapi juga
membekalinya dengan dasar-dasar kepemimpinan dan kemiliteran, pengetahuan
tentang taktik perang, penggunaan senjata, manajemen pasukan, dan lain
sebagainya.
Sebab itulah, walau tidak
dilakukan tiap malam, selepas pengajian dan di saat yang lain sudah
beristirahat atau kembali berjaga di posnya masing-masing, Pangeran Diponegoro
selalu mengadakan pertemuan terbatas dengan para telik sandi terpilih
untuk memantau perkembangan di luar sana.
Pangeran Diponegoro percaya dengan informasi yang disampaikan
para telik sandinya. Di sisi lain, tanpa sepengetahuan para telik sandinya,
Diponegoro juga membentuk unit kontra intelijen yang mengawasi dan mengecek
semua informasi yang diterima dari bawahannya. Yang terakhir ini direkrut dari
orang-orang yang sangat dipercayainya, walau pun jumlahnya tidak banyak. Ustadz
Taftayani sendiri yang telah membaiat mereka dengan kitab suci al-Qur’an di
atas kepala.
Tiba-tiba pintu bilik yang bagian luarnya terbuat dari bambu
bergerak terbuka. Deritnya terdengar pelan. Dari pintu yang terbuka tampak Ki
Guntur Wisesa yang pertama memasuki ruangan, diikuti Pangeran Diponegoro,
Ustadz Taftayani, Pangeran Bei, seorang pengawal khusus, dan kemudian barulah
beberapa orang sesepuh dan para senopati. Salam pun ditebarkan, dijawab kembali
dengan salam saling mendoakan kebaikan bagi semuanya. Mereka duduk melingkar di
tengah ruangan, diterangi temaram satu-satunya pelita kecil yang diikat di atas
dekat wuwungan.
Tidak ada yang bersuara hingga Ustadz Taftayani membuka
pertemuan.
“Bagaimana laporanmu Suromenggolo?” bisiknya langsung ke pokok
pertemuan.
Lelaki yang disapa Suromenggolo
mengangguk pelan. Murid sekaligus orang kepercayaan Kiai Mojo, ulama
kharismatik dari Desa Mojo yang berada di utara Surakarta, ini tidak segera
menjawab. Dia mengedarkan terlebih dahulu pandangannya ke sekeliling ruangan.
Walau nyaris gelap, namun dia bisa merasakan jika seluruh pimpinan pasukan jihad fi sabilillah Kanjeng
Gusti Pangeran berkumpul di sini.
Setelah mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, masih
sambil duduk bersila, Suromenggolo membungkukkan badan dan mulai mengeluarkan
suaranya. Terdengar seperti orang berbisik, namun bisa didengar dengan jelas.
“Alhamdulillah.
Semakin banyak ulama dan para pendekar yang menyatakan dengan tegas jika mereka
akan bergabung dengan kita….”
Pangeran Diponegoro dan semua
yang ada di dalam ruangan tersebut juga mengucapkan hamdallahtanda
syukur kepada Allah subhana wa ta’ala. Beberapa tahun lalu, Pengeran
Diponegoro dan yang lainnya memang bergerak di segenap penjuru negeri untuk
menggalang kekuatan untuk memerangi dan mengusir Belanda.
Orang pertama yang dikunjungi Diponegoro adalah Kiai Abdani dan
Kiai Anom di Bayat, Klaten. Kedua kiai ini tidak saja menyatakan dengan tegas
kesanggupannya untuk bergabung namun juga memberi Diponegoro tambahan ilmu bela
diri. Dari Bayat, Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi melanjutkan perjalanan
ke Sawit, Boyolali, untuk menemui Kiai Modjo, seorang Kiai kepercayaan Kanjeng
Susuhunan Pakubuwono VI. Kiai Modjo pun mendukung penuh Pangeran Diponegoro.
Lalu dengan diantar Kiai Modjo, Pangeran Diponegoro menemui Tumenggung
Prawirodigdoyo di Gagatan. Tumenggung ini adalah orang kepercayaan Susuhunan
Paku Buwono VI.
Dan atas saran Kiai Modjo dan Tumenggung Gagatan inilah,
Pangeran Diponegoro pun menemui Paku Buwono VI, keponakan Diponegoro sendiri.
“Hampir semua ulama yang saya temui di sekitar Merapi, Dieng,
Merbabu, Kulon Progo, dan lainnya, semua siap bergabung dengan Kanjeng
Pangeran. Bukan saja para ulama, namun juga para pendekar dan jagoan-jagoan
setempat. Mereka sudah muak dengan Belanda. Mereka hanya tinggal menunggu
perintah dari Kanjeng Pangeran.”
Ustadz Taftayani
mengangguk-angguk. “Alhamdulillah, ini perkembangan yang baik. Namun
ketahuilah, jika perang yang akan kita lakukan ini adalah perang sabil, Jihad fi sabilillah.
Perang yang semata-mata bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah dan
menghapuskan segala kezaliman. Sebab itu, kita harus mengaktifkan
pengajian-pengajian di seluruh negeri, agar semua yang nantinya bergabung
dengan kita memahami apa tujuan dan hakikat perang ini. Bagaimana Pangeran?”
“Insya Allah, saya
juga berpendapat sama. Kita akan memetik kemenangan. Tidak ada sedikit pun rasa
takut dan cemas menghadapi hari esok bagi orang-orang beriman. Kematian adalah
kepastian. Dan hanya orang-orang beriman dan tawakal yang kematiannya akan
benar-benar indah. Insya Allah, Ustadz, dan juga yang
lainnya, para senopati dan para ulama, mulai besok kita akan menggencarkan
pengajian kepada semua orang yang bersedia bergabung dalam kafilah tauhid ini. Insya Allah..,”
ujar Diponegoro.
“Lantas, bagaimana dengan
Danuredjo, Kisanak?” tanya Ustadz Taftayani kembali kepada Suromenggolo.
“Danurejo makin tak terkendali, Ustadz. Tadi pagi seorang ibu
yang sedang hamil tua bersama dua orang anak kecil yang dibawanya dilarang
lewat jembatan di Desa Jotawang, hanya karena uang yang dimiliki sang ibu tadi
untuk bayar pajak jalannya kurang. Danurejo ada di sana. Dia tengah
menginspeksi pos-pos jalan utama. Dia sendiri yang kemudian memerintahkan ibu
itu dan anak-anaknya untuk menyeberangi Kali Code yang berbatu-batu yang ada di
bawah jembatan. Akhirnya ibu dan anak-anaknya itu pun terpaksa menyeberangi
kali. Dan celaka, mereka jatuh dan terbawa hanyut air kali yang deras. Tidak
ada yang berani menolongnya karena Danurejo dan pasukannya melarang semua orang
yang ada di situ untuk menolong mereka….”
“Astaghfirullah al-adziem....,”
desis semua yang ada di sana.
“Dasar anjing Belanda!” umpat Ki Singalodra geram. Giginya
sampai terdengar bergemeletuk saking marahnya.
“Teruskan Kisanak…,”
ujar Ustadz Taftayani. (Bersambung)
[1] Pangeran Mangkubumi merupakan anak dari Sultan Hamengku
Buwono II atau yang lebih populer disebut sebagai Sultan Sepuh. Sultan Hamengku
Buwono II ini sangat anti penjajah Belanda. Sikap ini diwariskan oleh Pangeran
Mangkubumi. Pangeran Diponegoro sendiri lebih dekat kepada Sultan Sepuh
ketimbang terhadap ayahnya sendiri, Sultan Hamengkubu Buwono III yang tidak
begitu tegas, bahkan beberapa kali dengan jelas mendukung Belanda.
Oleh Rizki Ridyasmara
Suromenggolo melanjutkan paparannya, “Danurejo juga telah
memerintahkan dua orang kepercayaannya, Pangeran Murdaningrat dan Pangeran
Ponular untuk menaikkan tarif pajak di beberapa ruas jalan yang makin ramai.
Siapa saja yang tidak sanggup bayar, dilarang melintas di jalan itu…”
Pangeran Diponegoro bergumam, “Murdaningrat dan Ponular, jahat
benar mereka…”
Suromenggolo mendengar gumamannya, “Ya, benar Kanjeng Gusti
Pangeran. Mereka berdua telah benar-benar menjadi kaki tangan bagi Danurejo dan
juga kafir Belanda. Bukankah mereka yang menggantikan Kanjeng Gusti Pangeran
dan Pamanda Kanjeng Gusti Mangkubumi di dewan perwalian?”
Diponegoro mengangguk. “Ya, mereka yang menggantikanku dan
Paman Mangkubumi di Dewan Perwalian Kraton.”
Ustadz Taftayani dan semua orang yang berkumpul di ruangan itu
tahu benar jika sesungguhnya Dewan Perwalian Kraton hanyalah alat bagi
kepentingan Belanda untuk menipu rakyat.
Awalnya adalah ketika Sultan Hamengku Buwono III wafat pada
tahun 1814. Saat itu Raden Mas Jarot, adik dari Pangeran Diponegoro, baru
berusia sepuluh tahun. Rakyat menginginkan agar Diponegoro yang menjadi raja.
Namun Diponegoro sejak awal menolak. Dan Belanda pun tidak menyukai Diponegoro
yang tidak mau tunduk pada kepentingannya. Akhirnya Raden Mas Jarot pun naik
tahta, menjadi Sultan Hamengku Buwono IV dalam usia belia. Belanda menunjuk
Paku Alam I sebagai wali pemerintahannya.
Pada tanggal 20 Januari 1820,
ketika Hamengku Buwono IV sudah hampir berusia enambelas tahun, Paku Alam I
meletakkan jabatan sebagai wali raja. Namun pemerintahan mandiri Hamengku
Buwono IV hanya berjalan selama dua tahun, karena pada tanggal 6 Desember 1822
tengah hari, ketika baru saja sepulangnya dari tamasya, dia meninggal dunia.
Sebab itulah Hamengku Buwono IV disebut juga sebagai Sultan Seda ing Pesiyar,
Sultan yang meninggal dunia ketika tengah tamasya.
Menurut keterangan Belanda, sakitlah yang menjadi sebab
kematiannya. Namun banyak orang yang percaya, jika Belanda atau orang-orangnya
telah meracuni Sultan. Belanda berbuat itu agar kekuasaan Patih Danuredjo IV
bisa lebih besar.[1] Patih Danuredjo IV, yang berasal dari keluarga Danurejan
yang memang sejak lama menjadi kaki tangan Belanda, kemudian menempatkan
saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di kraton. Dengan
meninggalnya Hamengku Buwono IV, maka otomatis, Raden Mas Gatot Menol, anaknya
yang baru berusia tiga tahun akan naik tahta. Dengan adanya raja balita ini,
maka Patih Danuredjo akan sangat leluasa untuk menguasai seluruh kraton. Dan
kepentingan Belanda pun akan terjamin dalam waktu yang lama.
Dan memang demikian adanya. Raden Mas Gatot Menol yang baru berusia
tiga tahun pun diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Untuk mendampingi
raja kecil ini, Belanda bersama Patih Danuredjo IV membentuk Dewan Perwalian
Kraton, yang terdiri dari orang-orang terdekat dari sang raja. Dewan ini
dibentuk salah satunya untuk menghilangkan kecurigaan rakyat banyak soal sebab
kematian Hamengku Buwono IV. Dengan adanya Dewan Perwalian, maka Patih
Danuredjo bisa berlindung di balik dewan ini atas semua tindak-tanduknya.
Naiknya Raden Mas Gatot Menol menjadi Hamengku Buwono V dan
dibentuknya Dewan Perwalian Kraton menimbulkan dilema tersendiri bagi seorang
Pangeran Diponegoro. Dia sudah curiga jika Dewan Perwalian hanyalah hasil
akal-akalan dari seorang Danuredjo. Karena keputusan final pemerintahan tetap
berada di tangan Patih Danuredjo IV bersama-sama dengan Residen Belanda.
Namun jika dia tidak bergabung
di dalamnya, maka kraton akan sepenuhnya dikuasai Danuredjo dan para penjilat
kafir Belanda lainnya. Setelah bertafakur cukup lama di Parangkusumo, dengan
mengucapkan Bismillah, maka Pangeran Diponegoro pun memilih
untuk mau bergabung sebagai anggota Dewan Perwalian, bersama dengan Mangkubumi,
pamannya yang sangat dihormati Diponegoro. Diponegoro berharap dengan
bergabungnya dia dan Mangkubumi di dalam Dewan Perwalian Kraton, maka mereka
bisa mewarnai kraton agar lebih memihak umat ketimbang memihak penguasa kafir
Belanda.
Namun kenyataan berkata lain. Hampir setiap hari rapat demi
rapat berlangsung, memutuskan ini dan itu terkait kebijakan kraton terhadap
berbagai macam masalah menyangkut rakyat banyak, namun segala keputusan Dewan
Perwalian ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Semua kebijakan
pemerintah ternyata tidak sejalan dengan hasil musyawarah atau rekomendasi dari
Dewan Perwalian. Patih Danuredjo yang sangat licin dan mahir berbicara ini.
bahkan dengan menyitir banyak ayat Qur’an, hadits, dan juga siroh Rasul, selalu
menelikung semua keputusan Dewan ini. Sehingga keberadaan Dewan seolah tidak
ada artinya, kecuali hanya sebagai panggung sandiwara. Danuredjo bisa dengan
mudah dan leluasa memutuskan segala hal walau itu bertentangan dengan hasil
musyawarah Dewan Perwalian Kraton. Patih Danuredjo lebih berkuasa ketimbang
Dewan Perwalian itu sendiri. Dewan yang berfungsi sebagaimana layaknya Dewan
Syuro ini tidak memiliki kekuatan apa-apa jika Danuredjo berkehendak lain.
Semua ini membuat Pangeran Diponegoro bertambah muak. Maka
dengan tegas, Diponegoro-bersama Mangkubumi-menyatakan keluar dari dewan ini
dan bersama-sama umat berjuang dari luar lingkaran kekuasaan yang bertambah
korup. Danuredjo sendiri mengiming-imingi kedudukan dan uang yang banyak kepada
Diponegoro, namun Sang Pangeran tidak goyah dan tetap memilih berjuang dari
luar tembok kraton sepenuhnya.
Dengan tetap mengecilkan volume suara, Suromenggolo melaporkan
semua informasi yang diterimanya di lapangan, baik berkenaan dengan pergerakan
pasukan Belanda dan antek-anteknya, juga kebijakan baru yang diambil oleh Patih
Danuredjo yang kian menyusahkan rakyat.
Di akhir laporannya,
Suromenggolo dan kedua rekan anggota pasukan telik sandi-nya
bersepakat jika perkembangan di luar semakin panas dan bukan tidak mungkin
Belanda dan Danuredjo akan mengambil suatu langkah untuk memprovokasi Pangeran
Diponegoro untuk memulai perang.
“Maaf Kanjeng Pangeran..,” ujar Suromenggolo. “…saat ini Kanjeng
Pangeran dan semua yang ada di sini harap lebih waspada dan hati-hati. Dari
berbagai informasi yang kami dapatkan di lapangan, kami yakin jika Belanda dan
Patih Danuredjo tengah menyusun siasat agar kita semua terpancing . Mereka
ingin kita melawan mereka secara terbuka terlebih dahulu. Semua ini agar mereka
memiliki alasan untuk menangkap dan membunuh kita semua di sini…” []
(Bersambung)
[1] Peter Carey di dalam The Power of Prophecy: Prince
Dipanagara and the end of an old order in Java 1785-1855 (2007)
menulis, “…bagaimana dia wafat sangat mengerikan-tampaknya ia mendadak kena
serangan penyakit ketika sedang makan-dan tubuhnya langsung membengkak, suatu
pertanda menurut dugaan beberapa orang masa itu, bahwa dia telah diracuni…
Kematian itu datang dengan tiba-tiba setelah Hamengku Buwono IV menerima nasi
dan makanan Jawa dari Patih Danuredja IV.”
Oleh Rizki Ridyasmara
Bab 4
Pertengahan Juli 1825
MALAM TELAH TURUN MENYELIMUTI LANGIT Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Di aula kraton, musik Ratu Wilhelmina terdengar mendayu-dayu dari
piringan hitam yang diputar. Gelak tawa para pembesar Belanda dan para pejabat
kraton yang tengah dimabuk whisky dan Brandy dalam pesta jamuan makan malam
yang mewah terdengar kencang. Diseling cekikikan genit para Noni Belanda dan
perempuan-perempuan muda yang didatangkan orang-orangnya Patih Danuredjo entah
dari mana.
Di salah satu ruangan utama kraton, Patih Dalem Danuredjo IV
tampak duduk semeja dengan Anthonie Hendriks Smissaert, Residen Yogyakarta.
Penggila pesta dan minuman keras itu, dan tentu saja juga wanita, merupakan
Residen Belanda ke-18 untuk Yogyakarta. Sejak bertugas tahun 1823, hampir tiap
pekan Smissaert menggelar pesta dansa-dansi dan minuman keras dengan mengundang
koleganya, termasuk para pembesar kraton seperti halnya Patih Danuredjo IV dan
sebagian pangeran serta pejabat lainnya.
Di hadapan meja yang dipenuhi abu cerutu dan beberapa botol
Whisky yang sudah berkurang isinya, Patih Danuredjo tengah berembug dengan
residen itu untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya yang makin
lama makin mencemaskan mereka.
Dari para mata-mata yang disebar Belanda dan juga kraton, mereka
mendapatkan keterangan jika kian hari kian banyak saja orang yang bergabung
dengan Diponegoro. Apalagi di Puri Tegalredjo, tempat kediaman Diponegoro dan
Ratu Ageng, sudah lama tercium adanya pelatihan-pelatihan ilmu bela diri bagi
pribumi yang dipimpin oleh sejumlah ulama pendekar dan para jagoan yang
menyatakan setia kepada Diponegoro. Pelatihan itu tidak saja dilakukan dengan
tangan kosong, namun juga menggunakan berbagai macam senjata.
“Patih, Kowe musti bisa bikin cara supaya Diponegoro itu bisa
segera ditangkap!”
Patih Danuredjo tersenyum. Dengan suaranya yang lembut dan
kalimat yang teratur rapi, dia menjawab, “Insya Allah, Tuan Residen tenang
saja. Saya dan anak buah saya sedang mencari jalan supaya dia bisa sesegera
mungkin ditangkap.”
“Kapan? Kowe tidak bisa berlama-lama begitu! Apa mau tunggu
sampai pengikutnya banyak? Jadi susah kita nantinya!” sergah Smissaert sambil
menenggak sebotol Whisky dari botolnya langsung. Jakunnya yang besar terlihat
bergerak naik turun di lehernya. Dia kemudian menopangkan sebelah kakinya yang
pendek naik di atas meja ke atas kaki yang lain. Tapak sepatu lars Smissaert
kini menghadap lurus ke wajah Danuredjo. Patih Danuredjo benar-benar
direndahkan olehnya. Tapi patih itu hanya berdiam diri sambil tetap tersenyum,
walau hatinya serasa panas diperlakukan seperti itu.
Melihat Danuredjo yang belum juga menjawab pertanyaannya, dengan
tidak sabaran lelaki kecil berwajah bulat dengan rambut tipis berwarna putih
keperakan dan bermata biru itu berkata, “Aah, jangan-jangan kowe berkomplot
dengan Diponegoro hah!”
Danuredjo yang ikut minum Whisky, hanya saja dia meminumnya dari
sloki, tersedak. Airnya sampai tumpah membasahi pakaiannya.
“Tidak, bukan begitu, Tuan. Tuan salah besar jika sampai menduga
hal itu. Saya sebenarnya sejak beberapa hari lalu berpikir jika kita sebenarnya
punya cara yang bagus untuk menangkap Diponegoro itu…”
“Kenapa kowe dari tadi diam saja?” ketus Smissaert dengan sinis.
Bekas Residen Rembang yang ditunjuk Gubernur Jenderal Van Der Capellen pada 3
Januari 1823 menjadi Residen Yogyakarta ini, walau bertubuh kecil dan kikuk,
namun sikapnya sangat percaya diri.
“Saya baru mau cerita, Tuan…”
“Ya, cepatlah cerita!”
Danuredjo membetulkan posisi duduknya. Kini punggungnya
ditegakkan tanpa bersandar ke bagian sandaran kursi rotan yang tinggi. Setelah
terbatuk-batuk kecil sebentar dia mulai memaparkan rencana bulusnya.
“Tuan Residen, Tuan pasti tahu proyek jalan lurus dari
Yogyakarta ke Magelang yang sedang kita kerjakan bukan?”
Smissaert mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, ya, saya tentu
tahu. Ada apa dengan proyek itu?”
Wajah Danuredjo mendadak cerah. Dia memang selalu begitu jika
sedang merencanakan sesuatu. Raut wajahnya yang sedemikian licik mengingatkan
Smissaert pada salah satu tokoh penasehat Kurawa dalam epik Bharata Yudha yang
pernah dibacanya semasa masih kecil di Bataaf, kampung kelahirannya.
Ya, orang ini mirip sekali dengan Patih Sasngkuni!
“Tuan Residen, bagaimana jika jalan yang tadinya dibuat lurus
itu, melewati Muntilan, dibelokkan sedikit ke barat, melewati Tegalredjo. Jalan
itu kita buat sengaja menerabas tanah makam leluhur Diponegoro dan juga kebun
miliknya. Kita tancapkan saja patok-patok proyek jalan di sana. Jika kita
melakukan itu, Diponegoro pasti akan marah….”
Residen Smissaert menurunkan kedua kakinya dari atas meja.
Wajahnya ikutan cerah. Kedua matanya yang biru terlihat berbinar-binar. “Ha!
Ini baru namanya Patih Danuredjo! Tak sia-sia Belanda punya orang seperti kowe!
Ayo, ayo, teruskan ceritamu!”
Disanjung demikian, Danuredjo tersenyum lebar. Dengan sikap yang
dibuat-buat dia merendahkan diri dengan mengatakan jika dirinya biasa saja dan
hanya bekerja semaksimal mungkin demi kemuliaan ratu Belanda.
“Tuan pasti sudah bisa menebak kemana arahnya. Kalau Diponegoro
marah, dia pasti akan mengirim utusannya kesini untuk mengajukan protes. Kita
acuhkan saja protesnya dan tetap mematoki tanah itu untuk dibuat jalan. Bahkan
kita kirim saja para kuli ke Tegalredjo dan mulai mengerjakan proyek ini.
Diponegoro pasti akan marah besar. Dia akan kehilangan akal sehatnya. Bisa jadi
dia akan menyerang kuli-kuli kita itu. Atau bisa jadi pula dia akan menyerang
langsung kita di sini. Kalau itu sampai terjadi, kita tinggal menangkapnya.
Kita katakan saja jika Diponegoro mau memberontak terhadap pemerintah. Bukankah
itu mudah?”
Smissaert tersenyum lebar, kedua matanya yang besar menyipit,
“Ha..ha..ha.. betul. Betul itu. Nah, belokan saja jalan itu menuju tanah
leluhurnya Diponegoro!”
“Kapan rencana kita bisa dilaksanakan, Tuan?”
“Secepatnya. Malam ini saja. Biar kita bisa cepat menangkap
orang itu!”
“Baik, Tuan!”
Patih Danuredjo kemudian berdiri dari tempat duduknya.
“Sebentar, Tuan. Saya akan panggil orang proyek jalan itu sekarang.”
“Ya, kowe harus bergerak cepat!”
Danuredjo membungkuk takzim pada Smissaert, kemudian dia keluar
ruangan diiringi pandangan puas dari Smissaert. Dengan langkah agak limbung
karena pengaruh minuman keras, Danuredjo pergi memanggil salah seorang anak
buahnya yang sudah duduk menunggu di teras dekat dengan ruangan pertemuannya
dengan Tuan Residen. Agaknya Danuredjo sudah mempersiapkan segala sesuatunya
dengan baik. Melihat Patih Danuredjo datang, lelaki yang duduk menunggu itu
segera bangkit dan menyongsong tuannya.
“Joko!” panggil Danuredjo dari pintu ruangan.
“Dalem, Kanjeng Patih!” ujar lelaki yang dipanggil Joko seraya
bergegas menghampiri Danuredjo sambil terbungkuk-bungkuk. Lelaki itu berhenti
tepat dua meter di hadapan Danuredjo dengan sikap tubuh masih sedikit
membungkuk dengan kedua tangannya ditangkupkan ke bawah perut.
“Tuan Residen sudah setuju dengan rencana kita. Bagaimana kalau
malam ini juga rencana itu dilakukan?”
“Inggih, Kanjeng Patih. Saya siap…”
“Bagus. Kerjakan segera dan lapor setiap perkembangan yang ada
padaku.”
“Inggih, Kanjeng Patih. Perintah segera saya laksanakan.”
Patih Danuredjo segera kembali ke dalam ruangan di mana
Smissaert tengah asyik menenggak whisky-nya. Dia segera bergabung dengan orang
Belanda nomor satu di Yogyakarta tersebut dan tenggelam dalam pesta minuman
keras.
“Patih…, kowe sudah panggil itu Sari?” tanya Smissaert menyebut
salah satu penari kraton dari Pacitan yang terkenal kecantikannya. Smissaert
agaknya jatuh hati pada gadis yang usianya belum genap delapanbelas tahun itu.
Danuredjo tersenyum lebar penuh arti ketika Smissaert menanyakan Sari.
(Bersambung)
“Pasti, Tuan. Semuanya sudah
saya siapkan, termasuk Sari.”
“Bagus, bagus. Tolong untuk
perempuan itu kowe jangan suruh menari lama-lama. Nanti diakecapekan. Aku
tidak mau kalau dia nanti cepat capek.
Untukmu sendiri pasti sudah juga kan?”
Danuredjo tertawa keras sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Smissaert juga ikut tertawa.
“Sriayu lagi…?” goda Smissaert.
Patih itu menggelengkan kepalanya, “Untuk malam ini yang lain
saja. Bosan kalau makan sayur asem terus, biar malam ini saya makan sayur
lodeh…”
Smissaert sekarang yang tertawa keras. Danuredjo pun demikian.
Keduanya memang penggila perempuan. Bahkan di dalam urusan keputusan pengadilan
pun, Patih Danuredjo akan memenangkan pihak yang memberikan hadiah berupa
perempuan muda dan cantik kepadanya. Hanya Wakil Residen Chevallier yang mampu
menandingi mereka dalam urusan perempuan. Wakil Smissaert ini memiliki banyak
kisah asmara, termasuk dengan puteri-puteri kraton.
Di luar ruangan, musik Ratu Wihelmina masih mengalun dari
phonograph, alat pemutar piringan hitam dengan corong besar berwarna hitam.
Botol minuman keras berserakan di mana-mana. Laki-laki dan perempuan masih
berpelukan di lantai mengikut alunan suara musik. Yang lain duduk rapat
menikmati Whisky sambil tertawa cekikikan. Aula kraton malam itu tak ubahnya
seperti bar atau rumah bordil. Aroma alkohol menyeruak sampai menembus ke luar
dinding tebal kraton.[]
Bab 5
Puri Tegalredjo, 04.50 wib
ADZAN SUBUH BERKUMANDANG MEMENUHI ANGKASA pagi. Suaranya
terdengar mendayu-dayu diteriakkan dari berbagai mushola dan masjid, besar dan
kecil, yang tersebar di seantero dusun di lembah dan gunung di kaki Merapi.
Ayam jantan pun berkokok bersahut-sahutan.
Masjid yang berada di pojok barat laut kompleks Puri Tegalredjo
masih sunyi. Sejumlah lampu teplok yang biasanya menyala saat waktu Maghrib dan
Isya, juga saat-saat pengajian diadakan, juga sudah padam. Di dalam masjid yang
belum sepenuhnya rampung dibangun ini, walau sudah difungsikan sebagaimana
masjid lainnya, sesosok lelaki berjubah putih dengan surban hijau pupus tengah
asyik terpekur dalam zikirnya. Dia benar-benar menikmati suasana dini hari yang
hening sendirian. Baginya malam adalah waktu yang tepat untuk berdialog dengan
Sang Maha. Malam adalah selimut bagi jiwa-jiwa yang sepi. Dan malam adalah wahana
untuk mengantarkan ruhani yang dahaga akan keabadian.
Suara derit pintu masjid berbunyi pelan. Seorang anak muda
dengan jubah dan songkok putih melangkahkan kakinya masuk ke dalam masjid. Dia
lalu berdiri tidak jauh dari lelaki itu yang masih saja asyik dengan zikirnya.
Anak muda itu kemudian bertakbir dan mulai menunaikan sholat tahiyatul masjid,
dua rakaat.
Lelaki yang duduk bersila pun menghentikan zikirnya. Dia ikut
berdiri, kemudian melaksanakan sholat sunnah dua rakaat. Tak lama kemudian, beberapa
orang lelaki berpakaian putih-putih tampak mendatangi masjid. Mereka adalah
warga sekitar Puri Tegalredjo yang sering ikut pengajian pekanan. Tak sampai
lima menit masjid kecil itu sudah dipenuhi jamaah sholat subuh yang nyaris
seluruhnya mengenakan baju wulung atau jubah putih.
Lelaki yang tadi berzikir dan
menunaikan sholat sunnah dua rakaat kemudian berdiri paling depan di mihrab
imam. Dia mempersilakan anak muda yang tadi bersamanya untuk segera
mengumandangkaniqamah.
Dengan suara yang elok, tidak
terlalu keras dan juga tidak pelan, anak muda tadi menangkupkan tangan ke
sebelah telinganya dan mulai meneriakkan iqamah, tanda
sholat subuh berjamaah akan segera didirikan. Selesai iqamah,
lelaki yang berdiri di mihrab untuk sesaat berdiam diri. Lalu dia mengangkat
kedua tangannya sebatas telinga. Dengan penuh kekhusyukkan dia mengucapkan
takbir, “Allahu
Akbar!” Semua yang ada di belakangnya serentak mengikuti takbir sang
imam.
Pada rakaat pertama, Pangeran
Diponegoro yang menjadi imam sholat membaca surat Al-Ikhlas. Surat ini
merupakan surat ke-112, termasuk surat al-Makiyah. Surat Al-Ikhlas berisi
tentang kemurnian tauhid. Pangeran Diponegoro selalu mengawali sholat subuh
dengan membaca surat ini. Seorang Muslim wajib memulai hari dengan tauhid yang
benar agar semua ibadah di hari itu mendapatkan keridhaan Allahsubhana wa ta’ala. Itu
salah satu prinsip Pangeran Diponegoro.
Di rakaat kedua, Diponegoro membaca surat At-Takaatsur yang
merupakan surat ke-102 yang menceritakan soal tabiat manusia kebanyakan yang
sering lalai disebabkan kecintaannya pada kemegahan dan kelezatan dunia yang
sesungguhnya menipu. Dengan suara yang lembut dan merdu, Diponegoro membaca
delapan ayat surat tersebut. Banyak dari jamaahnya yang terisak menangis
mendengar suara Sang Pangeran yang begitu menyayat hati.
“Bermegah-megahan telah
melalaikan kamu,
Sampai kamu masuk ke liang
kubur,
Janganlah begitu, kelak kamu
akan mengetahui,
Dan janganlah begitu, kelak
kamu akan mengetahui,
Janganlah begitu, jika kamu
mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
Niscaya kamu akan
sungguh-sungguh menyaksikan neraka jahim,
Dan sesungguhnya kamu akan
sungguh-sungguh akan melihatnya dengan yakin seyakin-yakinnya,
Kemudian kamu pasti akan
ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu bangga-banggakan di dunia
itu)…”
Usai sholat, seperti biasanya,
Pangeran Diponegoro mengisi tausiyah[1] subuh
yang berisi soal penguatan akidah dan sebagainya. Dia juga tak segan-segan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan warga desa. Pagi ini,
Diponegoro memberikan tausiyah soal “Islam dan Negara”.
“…di dalam sirohnya[2],
Rasulullah shallallahu wa allaihi wa salam memang tidak
secara eksplisit menyebut istilah Negara Islam. Inilah yang dijadikan senjata
oleh orang-orang kafir dan para pengikutnya yang menyatakan jika tidak pernah
ada Negara Islam di dunia ini, hatta di
zaman Rasulullah hidup atau di masa kekuasaan para sahabiyah pun
tidak. Semua ini salah kaprah. Sebagai agama yang kaffah syumuliyah,
lengkap dan melengkapi, Islam mengatur manusia dalam semua sisi kehidupan,
pribadi maupun sosial. Nah, sekarang apakah yang disebut suatu negara itu? Ada
yang tahu?”
Diponegoro menatap semua jamaahnya yang duduk bersila menghadap
dirinya. Seorang anak muda jebolan sekolah madrasah di Surakarta mengangkat
tangannya.
“Ya, silakan jawab anak muda…”
“Maaf Kanjeng Pangeran. Setahu saya, yang dimaksudkan dengan
istilah negara adalah kumpulan manusia yang berdiam di suatu tempat, memiliki
aturan atau hukum yang disepakati semuanya. Maafkan saya kalau salah…”
Diponegoro tersenyum bangga, “Kisanak tidak
salah. Jawaban Kisanak betul. Nah, jika kita semua, umat Islam, berkumpul di
suatu tempat, di suatu wilayah yang kita miliki, dan di wilayah itu kita dengan
kesadaran sendiri menerapkan hukum-hukum Islam, hukum-hukum tauhid, maka itu
sudah bisa disebut sebagai Negara Islam. Walau wilayah yang kita diami atau
miliki itu tidak luas. Inilah Daulah Islamiyah.”
Semua yang hadir di masjid itu mengangguk-anggukan kepalanya.
“Ada lagi yang ingin bertanya?”
Seorang lelaki tua mengangkat tangan.
“Ya, silakan Pak,” ujar Diponegoro.
“Dalem,
Kanjeng Pangeran. Saya mau tanya bagaimana jika… apa itu… Daulah Islamiyah itu…
belum ada… Apa yang harus kita lakukan?”
“Matur nuwun bapak…
Iya, Daulah
Islamiyah namanya. Atau Negara Islam. Jika Daulah Islamiyah belum
tercipta seperti yang kita inginkan bersama, maka mulailah dengan menegakkan
Daulah Islamiyah itu di dalam dada kita. Setelah itu tegakkanlah Daulah
Islamiyah itu di dalam keluarga kita, rumah tangga kita. Lalu setelah itu
sebarkanlah dengan damai, menyebar ke tetangga kita, dusun kita, kampung, desa,
dan terus menyebar dan meluas. Dengan sendirinya akan tercipta suatu Daulah
Islamiyah itu, walau mungkin tidak menamakan diri sebagai Negara Islam.”
“Maaf, Kanjeng Pangeran, bagaimana jika kita hidup seperti
sekarang, dimana kaum kafir yang berkuasa dan dengan kekuatan senjata pula. Dan
bagaimana dengan orang-orang Islam sendiri yang malah bersekutu dengan kafir
Belanda itu?”
“Sekarang ini kita hidup di
bawah paksaan hukum thagut. Thagut adalah hukum, sistem kekuasaan, atau penguasa, yang
aturan atau tindak-tanduknya bertentangan dengan kalimat tauhid, bertentangan
dengan perintah dan larangan Allah subhana wa ta’ala. Thagut adalah
musuh Allah. Thagut adalah sekutu iblis. Sebab itu, orang yang Islamnya benar,
maka dia wajib memusuhi dan memerangi thagut sebagaimana dia juga wajib
memerangi iblis, dan bukan malah bersekutu dengannya dengan alasan atau dalih
apa pun. Orang Islam yang bersekutu dengan thagut adalah
orang yang mengkhianati perjanjiannya dengan Allah subhana wa ta’ala. Pasti
ada balasan dari Allah terhadap orang-orang seperti itu. Apakah sudah jelas
sampai bagian ini..?” (Bersambung)
[1] (Bahasa Arab): Nasehat.
[2] (Bahasa Arab): Sejarah.
Oleh Rizki Ridyasmara
Para jamaah menganggukkan kepalanya.
“Nah…,” lanjut Diponegoro,
“…bagaimana dengan kita sekarang? Apa yang harus kita lakukan sekarang ini?
Jawabannya adalah: Pertama, kita harus paham terhadap Islam yang benar, yang haq, yang
sesuai dengan al-Qur’an dan hadits yang shahih, bukan hadits palsu. Kita
tegakkan Islam itu di dalam dada kita. Biarlah Islam menjadi satu-satunya hukum
yang mengatur kehidupan kita dan keluarga kita. Kedua,
tancapkan kuat-kuat cita-cita untuk bisa hidup di dalam kedamaian Daulah Islamiyah.
Ketiga, untuk menggapai cita-cita itu, maka thagut dan
seluruh pengikutnya harus kita perangi, kita lawan, dan kita hancurkan. Bukan
malah bersekutu atau menjadi perpanjangan tangan dari thagut itu.
Seperti halnya perang yang akan
kita lakukan di hari-hari ke depannya melawan kafir Belanda, maka bukan orang
Belanda-nya yang kita musuhi, namun sistem thagut-nya
yang kita perangi. Yang akan kita lakukan adalah perang sabil, perang di jalan
Allah atau jihad fi sabilillah. Semua yang berjihad di jalan
Allah tidak akan rugi. Jika kita mati maka pintu surga telah menanti, dan jika
kita menang, maka kita akan hidup bahagia di dalam suatu negara yang penuh
dengan kedamaian dan kemakmuran…”
“Tapi kafir Belanda pasti tidak akan menyerah…”
“Benar itu. Allah subhana wa ta’ala sendiri
di dalam surat al-Baqarah ayat 120 berfirman, “Wa lan tardho ankal Yahudu wa
Nasharo, hatta tata bi’an milatahum…” yang artinya, “Tidak akan
pernah rela, tidak akan pernah sudi, tidak akan pernah mau, orang-orang Yahudi
dan Nasrani kepada kalian wahai umat Islam, hingga kalian semua akan tunduk
mengikuti, mematuhi, dan melaksanakan keyakinan mereka.
Kaum penjajah kafir tidak akan pernah mau pergi dengan sukarela
dari tanah Islam ini. Sebab itu kita harus menghimpun segenap kekuatan untuk
memerangi dan mengusir mereka dari tanah kita sendiri.
Tanah Yogyakarta, Tanah Jawa,
adalah tanah milik kita yang diwariskan nenek moyang kita. Bukan tanah mereka.
Tanah mereka ada di seberang samudera, nun jauh di Eropa sana. Sebab itu kita
wajib mengembalikan mereka ke tanah mereka, ke kampung halaman mereka. Ini
perang untuk menegakkan keadilan. Nanti setelah mereka kembali ke negerinya,
maka kita akan bisa menciptakan satu negeri yang berkeadilan bagi semua
rakyatnya berdasarkan tauhid. Inilah hakikat dari Daulah Islamiyah…”
Tiba-tiba dari arah alun-alun depan terlihat seorang pemuda
berlari mendekati masjid sambil berteriak-teriak, “Kanjeng Gusti Pangeran!
Kanjeng Gusti Pangeran..!”
Pangeran Diponegoro dan seluruh jamaah masjid langsung melihat
pemuda itu. Diponegoro mengenalinya sebagai salah seorang anggota pasukan
Laskar Ki Joyosuto yang berasal dari Winongo.
Diponegoro bertanya, “Ada apa Kisanak berlari-lari
seperti itu?”
“Kanjeng Pangeran! Mereka mematoki tanah makam!”
“Ambil nafas dan hembuskan pelan-pelan. Tenangkan dirimu dulu.
Jika sudah tenang, ceritakan dengan jelas…”
Pemuda itu menuruti apa yang dikatakan Pangeran Diponegoro.
Setelah menenangkan diri, walau nafasnya masih tersengal-sengal, dia mulai
bercerita, “Tanah makam leluhur dan kebun Kanjeng Pangeran dipatoki Belanda.
Mereka ingin membuat jalan dengan menerabas tanah itu Kanjeng Pangeran…”
Wajah Diponegoro seketika berubah menjadi kencang. Lelaki yang
biasanya lemah lembut itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.
“Pasti ini kerjaan Danuredjo!” desisnya.
“Apa yang harus kami lakukan Kanjeng Pangeran?” ujar salah
seorang pemuda yang lain.
“Berikan perintah kepada kami Kanjeng Pangeran, kami sudah siap
bergerak!” pekik yang lain.
Suasana mendadak gaduh. Bahkan ada yang bertakbir. Pangeran
Diponegoro segera mengangkat kedua tangannya ke atas, berusaha untuk
menenangkan semua pengikutnya.
“Saudara-saudara, tenang! Harap tenang! Pengajian pagi ini kita
sudahi dulu. Sekarang, dengan barisan teratur dan tetap tenang, kita akan
bersama-sama menuju ke tanah makam. Kita akan lihat langsung apa yang diperbuat
kafir Belanda itu kepada leluhur kita, orangtua-orangtua kita. Saya sendiri
akan berangkat memimpin barisan ini!”
Seorang pemuda segera keluar dari masjid dan berlari mengambil
Kiai Gentayu-nama dari kuda hitam dengan warna putih di ujung keempat
kakinya-beserta Kiai Ompyang, sebuah nama keris dengan 21 lekukan yang berasal
dari Demak, dan menyerahkannya kepada Pangeran Diponegoro. Setelah mengambil
keris dan menyelipkan di pinggang, dengan tangkas Sang Pangeran melompat naik
ke atas Kiai Gentayu. Sejumlah pengikutnya juga mengambil kudanya masing-masing
dan mengikuti Sang Pangeran.
Dari Puri Tegalredjo, letak tanah makam leluhur tidak terlalu
jauh. Tidak sampai sepuluh menit tibalah mereka di areal pemakaman yang
dipenuhi batu-batu nisan. Betapa geram hati Diponegoro melihat patok-patok kayu
yang biasa dipergunakan sebagai penanda batas proyek jalan raya, tertancap
begitu saja di antara nisan-nisan makam leluhurnya. Bahkan ada sejumlah patok
yang ditancapkan pas di bagian tengah makam, seakan sengaja dibenamkan ke perut
leluhur yang ada di dalam tanahnya.
Pangeran Diponegoro melompat turun dari kuda, diikuti seluruh
pengikutnya yang menyandang berbagai jenis senjata seperti keris, pedang, dan
trisula. Sang Pangeran itu kemudian berlutut di depan kompleks malam. Tubuhnya
bergetar menahan kemarahan yang teramat sangat. Walau demikian dia mencoba
untuk tetap tenang. Bibirnya komat-kamit berzikir. Diponegoro tampak berusaha
keras menguasai dirinya dari kemarahan yang tiba-tiba menyengat hatinya. Harga
dirinya serasa diinjak-injak.
Ki Guntur Wisesa mendampingi Sang Pangeran. Dia ikut berlutut di
sampingnya. Walau demikian, kedua matanya mengawasi keadaan sekitar dengan
sikap sangat waspada. Sedangkan Pangeran Ngabehi tetap berdiri di dekat mereka
berdua.
“Ki Guntur…,” bisik Diponegoro pelan.
“Dalem, Kanjeng
Pangeran…”
“Ini sudah keterlaluan! Apa yang harus kita lakukan?”
“Istighfar,
Kanjeng Pangeran. Walau marah tapi kita harus tetap berkepala dingin. Sebaiknya
sekarang kita kembali saja ke Puri…”
Pangeran Diponegoro tidak segera menjawab. Dia memanjatkan doa
barang sebentar. Kepalanya tertunduk ke tanah. Kemudian Diponegoro mengangguk
pelan, “Baiklah Ki Guntur. Kita kembali saja ke Puri. Tolong kumpulkan para
sesepuh dan senopati di masjid sekarang juga.”
“Inggih,
Kanjeng Pangeran. Laksanakan!”
Pangeran Diponegoro bangkit dan berdiri dengan tegar. Di hadapan
para pengikutnya yang kian bertambah banyak sehingga membentuk satu pasukan
berkuda yang cukup besar, bagaikan satu kompi kavaleri, dia berteriak lantang,
“Saudara-saudaraku semua, astaghfirullah al-adzim! Tanah
makam leluhur kita telah dinodai. Harga diri kita telah dicederai. Mereka tidak
saja menindas dan menyiksa saudara-saudara kita yang masih hidup. Para leluhur
kita yang sudah mati pun mereka cemari. Sekarang juga, kita akan cabut semua
patok-patok ini! Kita bakar! Kita ganti patok-patok itu dengan tombak di
sekeliling tanah makam ini. Kita akan menyampaikan protes keras kepada kafir
Belanda itu! Kita tunjukkan jika kita tidak pernah takut kepada orang-orang
kafir itu. Allahu Akbar!”
Pekik takbir Diponegoro disambut para pengikutnya dengan gegap
gempita. Langit Tegalredjo pagi itu membahana dengan teriakan takbir. Cahaya
matahari yang baru saja menyorot ujung-ujung dedaunan kalah panas dengan dendam
amarah yang memenuhi seluruh rongga dada.
“Sekarang kita semua bersiap!
Bersiagalah! Siapa pun yang mencintai Islam sebagai agamanya, yang mencintai
saya sebagai hamba dari Sang Khaliq, Allah subhana wa ta’ala,
bergabunglah dalam barisan jihad ini. Mereka telah menantang kita, dan haram
bagi kita untuk takut terhadap tantangan kafir Belanda itu! Bersiagalah. Tunggu
perintah dariku. Siapkan perbekalan, urus isteri dan anak-anak. Ungsikan mereka
ke tempat yang aman. Semuanya bisa saja terjadi kapan pun. Allah bersama kita!”
“Allahu akbar!”
Pekik takbir membahana sekali lagi.
“Aku akan kembali ke Puri
Tegalredjo. Siapkanlah diri kalian semuanya. Bismillah! Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh!“
Setelah mengucapkan salam, Pangeran Diponegoro memacu Kiai
Gentayu kembali ke dalam puri diikuti Ki Guntur Wisesa dan ratusan pengikutnya.
Debu membumbung tinggi dari kaki ratusan kuda yang meninggalkan tanah makam.
Suaranya benar-benar menakutkan.
Ratusan pengikut Diponegoro yang lain tetap tinggal di tanah
makam. Mereka bekerja cepat mencabuti patok-patok kayu tersebut dan
menggantinya dengan tombak yang mengelilingi tanah makam. Patok-patok kayu
Belanda yang jumlahnya ratusan itu kemudian dibakar hingga habis menjadi abu.
[] (Bersambung)
Bab 6
TIDAK SAMPAI SATU JAM KEMUDIAN masjid dan Paseban[1] Puri
Tegalredjo telah dipenuhi para sesepuh dan senopati pasukan pengikut
Diponegoro. Sejumlah laskar juga sudah berdatangan. Semuanya kebanyakan
berjubah putih. Mereka menutupi kepalanya dengan sorban yang juga berwarna
putih, juga warna lainnya. Di dalam masjid, Pangeran Diponegoro sedang
menggelar pertemuan terbatas dengan sejumlah sesepuh dan pimpinan pasukan.
“Bagaimana menurutmu, Paman?” tanya Diponegoro kepada Pangeran
Mangkubumi yang baru saja datang dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
“Ya, firasatku juga mengatakan demikian. Mereka telah
terang-terangan menantang kita dengan menodai tanah makam leluhur. Kita harus
mempercepat persiapan pasukan dan segala sesuatunya.”
“Apakah basis sudah dipersiapkan juga?” selidik Diponegoro.
Basis adalah nama sandi bagi Gua Selarong, wilayah yang akan dijadikan markas
komando utama jika Puri Tegalredjo tidak bisa dipertahankan. Mangkubumi dan
Susuhunan Paku Buwono VI-lah yang mengusulkan lokasi perbukitan yang sangat
strategis tersebut. Dan Diponegoro mengakui jika Gua Selarong memang pilihan
yang tepat.
Pangeran Bei yang diberi amanah sebagai Generalismus[2] Laskar
Diponegoro menjawab, “Insya Allah Selarong sudah siap. Bukankah begitu Ki
Guntur Wisesa?”
Ki Guntur Wisesa yang bertanggungjawab penuh terhadap Gua
Selarong tersenyum dan menganggukkan kepalanya, “Insya Allah siap. Demikian
pula dengan jalur, sudah kita amankan…”
“Paman dan semuanya, mulai sekarang kita aktifkan penjagaan
duapuluh empat jam, tidak saja di lingkar tiga, namun juga lingkar dua, dan
satu.”
Pangeran Bei dan Mangkubumi mengangguk, juga yang lainnya.
Sebagai pemuda yang sejak kecil digembleng banyak hal oleh Ratu Ageng, termasuk
dasar-dasar kemiliteran, Pangeran Diponegoro sejak jauh hari sudah
mempersiapkan sistem pertahanan menghadapi pasukan Belanda jika sewaktu-waktu
perang meletus dengan Puri Tegalredjo sebagai poros utamanya. Hal itu telah
ditetapkan Diponegoro tiga tahun lalu ketika dia masih bergabung di dalam Dewan
Perwalian Kraton bersama Pangeran Mangkubumi.
Sistem pengaman dibuat seperti gelang-gelang dengan radius yang
berbeda. Gelang terluar berjarak empat kilometer dari Puri Tegalredjo yang
disebut sebagai lingkar tiga, gelang kedua berjarak dua sampai dua setengah
kilometer dari Puri dengan sandi lingkar dua. Dan lingkar satu sejauh satu
setengah kilometer dari poros utama. Masing-masing lingkar dijaga oleh
pasukan-pasukan terlatih yang saling berkoordinasi satu dengan yang lainnya.
Dari satu lingkar ke lingkar lainnya dihubungkan dengan jalur komunikasi dan
juga logistik, sehingga memudahkan jika terjadi sesuatu.
Di luar pasukan reguler, Diponegoro juga memiliki pasukan telik
sandi atau mata-mata yang terdiri dari laki-laki dan juga perempuan dari
berbagai macam usia. Pasukan telik sandi ini dikirim berpencar ke seluruh
penjuru mata angin mengepung Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Beberapa dari
pasukan ini sengaja ditanam di pihak musuh.
“Firasatku mengatakan perang besar melawan kafir Belanda tidak
akan lama lagi meletus. Tolong perempuan dan anak-anak diamankan dahulu,
keluarkan mereka dari Tegalredjo. Namun itu harus dilakukan dengan diam-diam.
Saya tidak ingin mereka menjadi korban kebuasan pasukan kafir Belanda dan juga
pasukannya Danuredjo. Sedikit demi sedikit para perempuan dan anak-anak harus
dikeluarkan dari desa ini,” ujar Diponegoro kepada Joyokirno, seorang senopati
yang bertanggungjawab terhadap keamanan sebelah Lor[3] Desa Tegalredjo.
Joyokirno mengangguk pelan, “Inggih, Kanjeng Pangeran. Segera
saya laksanakan.”
“Lakukan dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit supaya
pergerakan ini tidak menimbulkan kecurigaan di pihak musuh. Tolong sampaikan
pada para senopati yang lain,” ujar Diponegoro lagi sambil menepuk-nepuk bahu
Joyokirno.
“Inggih, Kanjeng Pangeran…”
“Baiklah. Sekarang pergilah kembali ke pasukanmu…”
Joyokirno segera memeluk Diponegoro. Setelah pamit, dia segera
melompat ke atas kudanya dan melesat meninggalkan Puri Tegalredjo untuk kembali
ke pasukannya yang berjaga tigaratusan meter setelah pintu desa di sebelah
utara.
“Ustadz…,” panggil Diponegoro kepada Ustadz Taftayani yang
sedang meneliti peta sederhana kota Yogyakarta yang dihamparkan di atas lantai
masjid. Ulama dari Minangkabau yang sudah menetap di dekat Tegalredjo itu
mendekat.
“Ustadz, bagaimana dengan Kiai Modjo dan yang lainnya?”
Taftayani mengangguk dan balas berbisik, “Insya Allah mereka
juga sudah siap. Bahkan saya dengar jika Kiai Modjo juga tengah mengadakan
konsolidasi dengan pasukan-pasukannya. Dan beliau juga telah mengontak para
alim-ulama dan sesepuh desa ke berbagai daerah di sekitar Surakarta dan Yogya
hingga Magelang untuk bergabung dengan kita.”
Pangeran Diponegoro mengangguk-anggukkan kepalanya, “Apakah kita
akan tetap dengan formasi sepuluh komandemen untuk Yogyakarta, Ustadz?”
Mendengar pertanyaan itu, Ustadz Taftayani tidak segera menjawab.
Diponegoro memang telah membagi wilayah Yogyakarta ke dalam sepuluh daerah
komandemen, yang masing-masing daerah dipimpin oleh seorang komandan. Khusus
Madiun, wilayah ini dibagi menjadi tiga komandemen. Diponegoro telah berhitung,
satu daerah komandemen memiliki lebih kurang 10.000 keluarga. Dari jumlah ini,
diharapkan bisa disiapkan sekira seribuan orang prajurit, lengkap dengan
senjata. Mereka harus menjadi pasukan yang mandiri dan terlatih dengan baik,
walau tongkat komando tetap berada di tangan Pangeran Diponegoro. “Bagaimana,
Ustadz?” tanya Diponegoro lagi.
“Menurut hemat saya, Pangeran, pembagian itu sudah cukup. Nanti
kita lihat perkembangannya kemudian. Bukankah dalam peperangan organisasi
hanyalah suatu ikatan yang teramat lentur? Semuanya tergantung pada improvisasi
para pemimpin di lapangan dan kecepatan dalam bertindak tepat. Itu yang
penting.”
“Ya, itu benar. Dan bagaimana pandangan Ustadz soal perang yang
sebentar lagi akan meletus?”
“Kanjeng Pangeran, sebaiknya kita menahan diri. Jangan sampai
kita dituding sebagai pihak yang memulai perang. Kita bertahan saja dahulu.
Tentang pancingan atau mungkin jebakan yang dilakukan Belanda dan Patih
Danuredjo, yang menancapkan patok-patok di tanah makam, sebaiknya Pangeran
mengirim nota protes kepada Residen Smissaert…”
“Ya, itu saya setuju, Ustadz. Saya akan mengirim nota protes dan
minta agar kafir Belanda menghentikan proyek itu atau mengubah arah jalan yang
akan dibuat sehingga tanah leluhur aman. Dan yang kedua, saya minta agar
residen kafir itu segera memecat Danuredjo.”
“Ya, itu bagus. Saya setuju…”
“Tolong panggilkan Ahmad Prawiro, Ustadz. Saya akan siapkan
surat sekarang juga untuk diantar ke residen kafir itu.”
Ahmad Prawiro merupakan salah satu kurir andalan Diponegoro.
Pemuda keturunan Cina ini asli Pekalongan yang telah bergabung dengan
Diponegoro sejak awal perekrutan pasukan pertama di sekitar tahun 1820-an.
Ustadz Taftayani mengangguk. Dia bergegas keluar masjid untuk
memanggil pemuda yang dimaksud. Tak lama kemudian guru ngaji itu datang bersama
seorang pemuda berkacamata bulat yang mengenakan baju koko dan songkok putih.
“Ahmad…,” ujar Diponegoro setelah menjawab salam pemuda itu,
“…Saya akan tulis surat. Nanti tolong antarkan langsung ke Residen Smissaert.
Pastikan dia yang menerimanya…”
“Inggih, Kanjeng Gusti Pangeran.”
“Tunggu sebentar disini.” (Bersambung)
[1] Bahasa Jawa: Tanah atau Lapangan yang cukup luas.
[2] Panglima Besar.
[3] Bahasa Jawa: Utara.
Diponegoro kemudian berdiri dan
berjalan ke bilik kecil yang terdapat di samping masjid. Di ruangan sempit itu
hanya ada sebuah ranjang kecil sederhana, sebuah meja kayu kecil, dan bangku
kayu yang sudah sedikit bergoyang jika diduduki. Di atas meja itulah Pangeran
Diponegoro menulis surat protes kepada Residen Yogyakarta A.H. Smissaert, yang
isinya antara lain meminta agar Residen Yogyakarta itu memecat Patih Danuredjo
yang dianggap sudah keterlaluan sikapnya sehingga hampir semua rakyat
Yogyakarta memusuhi dia.
Tidak lama kemudian Diponegoro keluar dari biliknya dan kembali
ke dalam masjid. Ahmad Prawiro masih duduk bersila di tempatnya didampingi
Ustadz Taftayani.
“Ini suratnya, Ahmad. Pagi ini juga tolong berikan langsung
kepada residen itu. Berangkatlah dalam nama Allah…”
“Insya Allah,
Kanjeng Pangeran. Bismillah…“
Pemuda itu berdiri dan menerima surat yang telah digulung rapi
dan dimasukkan ke dalam tabung bambu yang kemudian disimpan di dalam tas kulit
yang disandangnya di bahu. Setelah pamit minta diri, Ahmad keluar dari masjid
dan langsung melompat ke atas kudanya. Dengan sekali gebrak, kuda itu telah
melesat keluar dari pekarangan Puri Tegalredjo.
Sepeninggal Ahmad, Pangeran
Diponegoro kembali melanjutan pembahasan rencana perang dengan sejumlah sesepuh
dan senopati. Setelah itu semua pasukan diperintahkan untuk kembali ke posnya
masing-masing dengan kesiagaan penuh di sekeliling Puri Tegalredjo dalam radius
berlapis. Demikian pula dengan pasukan telik sandi.
“Ustadz…”
“Ya, Kanjeng Gusti Pangeran…”
“Saya akan menulis beberapa surat perintah kepada orang-orang
kita di pantai utara, di Mancanegara[1], serta di Bagelen dan Sukawati. Mereka
harus mulai bersiap menyambut apa pun yang akan terjadi esok hari.”
“Surat perintah?”
“Benar, Ustadz. Saya menyerukan
kepada semua rakyat Mataram, agar mulai saat ini tidak lagi takut kepada kafir
Belanda dan antek-anteknya. Orang-orang yang mengaku Muslim tapi di dalam
hidupnya menggantungkan diri dan keluarganya kepada thagut, yang
menyerahkan loyalitasnya kepada thagut, bukan
kepada Allah dan hukum-hukum-Nya, juga harus diperangi. Hanya Allah subhana wa ta’ala yang
layak dan berhak ditakuti sekaligus dicintai. Saya hanya ingin mengatakan, jika
terdengar meriam berdentum sepanjang hari dan malam, maka semuanya harus siap
siaga. Itu saja.”
“Baik, Kanjeng Pangeran. Itu sudah cukup.”
“Sadumuk bathuk, sanyari bumi
ditohi tekan pati[2],
Ustadz! Ini prinsip kita.”
Ustadz Taftayani hanya tersenyum dan mengangguk-anggukkan
kepalanya. []
Bab 7
AHMAD TERUS MEMACU KUDANYA MELEWATI jalan utama dari Tegalredjo
ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sudah dipenuhi berbagai macam
penghalang demi memperlambat gerak maju pasukan reguler Belanda yang biasanya
menggunakan kereta penarik meriam. Penghalang itu bisa berupa batang pohon yang
sengaja direbahkan melintang di jalan, batu-batu besar yang digulingkan secara
acak, atau penggalian sejumlah ruas jalan sedalam setengah meter dengan lebar
satu tombak. Di beberapa tempat yang hanya diketahui Laskar Diponegoro juga
sudah dipasang jebakan dan perangkap berupa lubang-lubang yang ditutup bilik
yang kemudian disamarkan dengan tanah. Siapa pun yang menginjak lubang itu akan
jatuh dan tertusuk belasan mata tombak atau panah yang telah ditanam menghadap
ke atas. Sebab itu, kurir dan rakyat kebanyakan sejak beberapa hari lalu
menghindari jalan-jalan besar sekitar Tegalredjo dan memilih untuk melewati
‘jalan tikus’ yang walau kecil dan berliku namun aman.
Menurut informasi dari pasukan telik sandi,
Residen Yogyakarta Smissaert pagi menjelang siang ini masih berada di dalam
kraton usai pesta besar tadi malam. Namun beberapa kilometer sebelum pintu
gerbang kraton, Ahmad terlebih dahulu mampir ke sebuah rumah di gang sempit
sekitar Sosrowijayan untuk berganti pakaian. Ini adalah salah satu ‘rumah aman’
bagi pengikut Diponegoro yang tidak terlalu jauh dari jalan utama menuju pusat
kraton.
Di dalam rumah itu, Ahmad mengganti songkok dan baju koko
putihnya, dengan baju wulung hitam dengan penutup kepala yang berwarna gelap
seperti kebanyakan penduduk sekitar. Setelah itu dia kembali memacu kudanya
menuju kraton melewati jalan utama menuju gerbang kraton yang serupa garis
lurus, yang sekarang dikenal sebagai Jalan Malioboro.
Dari atas kudanya Ahmad bisa melihat dua prajurit kraton berjaga
di sisi kanan dan kiri pintu gerbang lengkap dengan tombak dan pedang. Namun
pemuda itu bersikap tenang, Di dalam lipatan tas kulitnya, telah dijahit
sesobek kain merah putih biru dengan lambang kraton di sisi kanannya sebagai
tanda jika dirinya adalah kurir resmi bagi keresidenan Belanda untuk
Yogyakarta. Dengan simbol ini dia bebas keluar masuk kraton dan gedung
pemerintahan di wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ahmad terus memacu kudanya. Sepuluh meter di depan gerbang, dua
prajurit kraton menghunjamkan tombak ke arahnya.
“Berhenti! Turun!” bentak mereka.
Ahmad berhenti namun tidak turun dari pelana kudanya. Dia malah
membentak prajurit itu, “Minggir! Ada surat penting dari Gubernur Jenderal
untuk Tuan Residen. Secepatnya harus dibalas oleh Tuan Residen!”
Kedua prajurit itu saling
berpandangan. Kemudian salah seorang di antaranya menjawab dengan nada yang
lebih sopan, “Coba perlihatkan kepada kami tanda izin Kisanak!”
Dari atas kudanya, Ahmad memperlihatkan bagian dalam tas berisi
sobekan kain merah putih biru dengan simbol kraton di sisi kanannya. Melihat
simbol tersebut, kedua prajurit penjaga tersebut segera memberi ruang bagi
Ahmad dan kudanya.
“Silakan lewat.”
“Tuan Residen ada di ruangan mana? Surat ini harus langsung
sampai di tangannya sekarang juga.”
“Di ruang kepatihan.”
“Baiklah, matur nuwun..!”
Ahmad kembali memacu kudanya memasuki pelataran halaman muka
kraton dan langsung menuju ruang kepatihan tempat Patih Danuredjo IV berkantor.
Setelah menambatkan kuda, Ahmad berjalan melintasi aula kraton
bagian dalam. Pemuda itu menahan nafasnya sejenak. Dia tidak tahan dengan aroma
alkohol dan tembakau yang begitu kuat menyeruak di aula itu. Beberapa puntung
rokok masih terlihat berserak di sudut-sudut kaki meja dan kursi. Namun ketika
melihat seorang prajurit jaga yang berdiri di depan ruangan kepatihan, Ahmad
bisa bernafas lega. Prajurit yang tengah jaga adalah Suryo Widhuro, salah
seorang prajurit yang loyal kepada Pangeran Mangkubumi. Ahmad kenal dengannya
karena diam-diam Suryo juga merupakan simpatisan Kanjeng Pangeran Diponegoro.
Walau demikian, sekadar untuk memenuhi formalitas kraton, Suryo
segera menggeledah Ahmad Prawiro. Setelah dianggap bersih, Suryo segera berbisik,
“Serahkan saja suratnya padaku, nanti aku sampaikan pada residen itu.”
Ahmad menyerahkan surat yang langsung ditulis tangan oleh
Pangeran Diponegoro, “Tolong sampaikan langsung sekarang juga. Tidak perlu
dibalas…”
Suryo mengangguk. Ahmad segera berlalu darinya. Prajurit itu pun
mengetuk pintu kamar kepatihan tempat Smissaert bermalam. [] (Bersambung)
[1] Mancanegara adalah sebutan masa itu untuk wilayah Madiun,
Kediri, dan Rembang).
[2] Bahasa Jawa: “Sejari sekepala, sejengkal tanah akan dibela
sampai titik darah penghabisan”.
Bab 8
Kantor Residen Surakarta, 19 Juli 1825
DENGAN WAJAH YANG SANGAT SERIUS, Residen Surakarta Mac Gillavry
terlihat marah-marah sendiri di kantornya. Sekretarisnya hanya berdiam diri
mendengar atasannya mengomel tak menentu. Sebabnya, tak lain dan tak bukan,
karena surat peringatan akan bahaya Diponegoro yang ditulisnya-yang ditujukan
bagi Residen Yogyakarta Smissaert-mendapat tanggapan yang dingin. Bahkan
Smissaert menganggap Mac Gillavry terlalu berlebihan dan sedikit paranoid
menghadapi Pangeran Diponegoro dan pasukannya.
“Keparat Residen Yogyakarta itu! Sudah saya bantu tapi dia tidak
perduli! Dasar orang tak tahu berterimakasih! Kalau Yogya kacau, kita juga yang
nanti kena getahnya. Maunya apa Smissaert itu! Pesta dan pesta! Perempuan dan
whisky melulu! Dia terlalu menyepelekan Diponegoro…”
“Anthonie!” jerit Gillavry. Suaranya mengguntur menyakitkan
gendang telinga.
Sekretaris Residen Surakarta yang sedari tadi berdiri di dekat
pintu yang tertutup dengan agak takut menjawab, “Ya, Tuan.”
“Saya akan menulis surat lagi yang isinya lebih kurang sama.
Tapi kali ini langsung ditujukan untuk Chevallier!”
“Asisten Sekretaris Residen Yogya itu, Tuan?”
“Ya, siapa lagi jika bukan dia! Cepat kau siapkan kertas dan
pena. Saya akan diktekan!”
Anthonie van Huyn segera mengambil alat tulis dan menarik
beberapa lembar kertas kosong. “Siap, Tuan.”
Mac Gillavry duduk di atas kursinya yang memiliki sandaran
tinggi. Dengan mengangkat kedua kakinya ke atas meja kecil di samping kursi dia
mulai mendiktekan suratnya yang kali ini ditujukan langsung bagi bawahan
Smissaert. Dia akan potong kompas, sekaligus merendahkan rekannya itu.
“Amice,” ujarnya, “… De demang der desa Grojogan (de voornamste
van boven bedoelde hoofden) is op last van den Pangeran Dipanegara met 100 man
zjin gevolg naar Yogya vertrokken. Eenigen mijner spionnen zijn terug. Zij
brengen de tijding, dat het plan bestaat om eerst Patjitan een te vallen en met
die bevolking Yogya te vermeesteren. Zorg intusschen maar, dat hij, noch Dipanegara
er iets van merken, dat wij hen bespionneeren”
Mac Gillavry mengambil nafas. Kemudian dia mulai mendiktekan
kembali kelanjutan suratnya:
“…Een bijwijf van den demang heeft zich uitgelaten, dat hij naar
Yogya was om nadere orders te ontvangen, meldt mij per extra-post wanner hij
weer van Yogya vertrekt en laat dan door een knappen vent, slechts in de verte,
nagaan of hij ook een anderen koerst neemt. Op de pasars alhier loopt het
gerucht, dat er op Yogya prang (Oorlog) zak jineb eb dat het kleine volk reeds
al zijn goederen geborgen heeft; dat de Rijksbestierder van Yogya de Merapi
heeft beklommen om een gelofte te doen voor dien prang enz., deze merae nugae
(loutere beuzeipraat) allen tot Uwe informatie. Vaarwel, H.C. Gillavry…”[1]
“Ya selesai. Coba aku baca dulu.”
Anthoine menyerahkan surat yang barusan ditulisnya. Mac Gillavry
melihatnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Senyumnya kini sudah mulai
mengembang.
“Hmm… bagus. Ya, seperti ini. Tulisanmu lama-lama bagus juga,
Anthoine…,” ujarnya sambil melirik sekretarisnya itu.
“Terima kasih, Tuan,” jawab Anthoine tersipu-sipu. Selama
delapan bulan bekerja dengan Gilavry, baru kali ini dia menerima pujian dari si
gendut dengan kumis melintang itu.
“Sekarang tolong kamu kirimkan surat itu langsung kepada
Chevallier. Secepatnya!” ujar Gillavry kembali berdiri dan menenggak segelas
gula asam lagi, minuman tradisonal kesukaannya.
Anthoine menerima surat itu kembali, melipatnya dan
memasukkannya ke dalam amplop yang kemudian disegel dengan lilin panas yang
dicap simbol kerajaan Belanda. Lalu dia bergegas keluar ruangan menemui petugas
jaga dan menyuruhnya untuk segera memanggil kurir khusus ke Yogyakarta. Tak
lama kemudian, kurir yang dipanggil pun menghadap Anthoine dengan sikap badan
yang terbungkuk-bungkuk.
“Serahkan surat ini kepada Residen Yogyakarta Smissaert sekarang
juga.”
“Inggih, Tuan,” ujar kurir itu sambil berkali-kali membungkukkan
badannya. Dia kemudian bergegas menuju kudanya yang ditambatkan di sayap kanan
gedung karesidenan Surakarta. Dengan beberapa kali gebrakan kaki pada badan
kuda, dia pun melesat meninggalkan Surakarta melewati jalan utama menuju
Vredeburg Castle yang berada di utara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. []
] “Sahabatku, atas perintah Diponegoro, Demang Desa Grojogan
(yang dituakan di antara para kepala desa yang disebut di atas) berangkat ke
Yogyakarta bersama 100 orang anak buahnya. Beberapa mata-mata saya telah kembali.
Mereka membawa berita bahwa ada rencana untuk menyerang Pacitan terlebih
dahulu, lalu dengan kelompok itu mereka akan menguasai Yogyakarta. Sementara
itu, usahakan agar Demang maupun Diponegoro jangan menyadari bahwa kami
memata-matai mereka. Selir sang Demang memberitahukan bahwa dia pergi ke Yogya
untuk menunggu perintah selanjutnya. Tolong beritahu saya melalui pos kapan dia
berangkat dari Yogya dan suruh seseorang mengawasi dari kejauhan apakah Demang
juga mengambil arah lain. Di pasar-pasar sudah tersebar kabar bahwa di Yogya
akan terjadi perang dan bahwa rakyat kecil telah menyimpan harta benda mereka;
pepatih Dalem Yogyakarta telah naik ke Gunung Merapi untuk melakukan kaul bagi
perang ini dsb, merae nugae (omong kosong) ini hanya sebagai informasi buat
Anda. Sampai jumpa, H. Mac Gillavry.” (Het Legioen van Mangkoe Nagoro, Let Col
H.F. Aukes, page 62, 1935, A.C. Nix & Co, Bdg/ ditulis kembali dari
Santosa, Irwan; Legiun Mangkunegara 1808-1842; Kompas; hal.144-145; Sept, 2011)
Residen Yogyakarta ini kemudian
berteriak agar prajurit jaga memanggil Patih Danuredjo, “Panggil itu patih ke
sini menghadapku!”
Suryo Widhuro, sang prajurit penjaga kamar kepatihan, segera
menghadap, “Inggih, Tuan Residen.”
Tak lama kemudian, dengan tergopoh-gopoh Patih Danuredjo datang
ke ruangan di mana Smissaert berada. Baginya, panggilan dari residen Belanda
merupakan panggilan yang sangat penting. Melihat wajahnya yang kusut, Danuredjo
sepertinya juga baru terbangun dari mimpinya.
“Ada apa Tuan Residen memanggil saya pagi-pagi begini?”
“Diponegoro marah. Kowe harus baca itu surat!” ujar Belanda itu
sambil melemparkan sebuah gulungan surat yang sudah terbuka segelnya. Patih
Danuredjo dengan sigap menangkap gulungan surat itu dan membukanya. Wajahnya
kemudian terlihat berseri-seri.
“Ha.. ha.. ha.. Ini bagus. Apa aku bilang. Dia marah besar.
Sebaiknya orang kita memeriksa patok-patok yang ada di tanah makam itu sekarang
juga. Jika dirusak, kita pasang lagi. Dan pagi ini juga kita panggil Diponegoro
untuk menghadap kesini untuk menjelaskan tentang surat ini. Dia meminta Tuan
untuk memecat saya. Ini sudah makar! Kita tangkap saja orang itu di sini!”
Smissaert mengangguk-angguk, “Well, kowe benar-benar pintar
Danuredjo! Ya, periksa patok-patok itu sekarang dan kita panggil Diponegoro ke
sini segera.”
Danuredjo ikut mengangguk dan terdiam. Biasanya, jika sedang
demikian, orang itu tengah memikirkan sesuatu atau menyusun rencana. Benar
saja. Tiba-tiba dia menyebut Pangeran Mangkubumi.
“Tuan Residen, Diponegoro masih sangat menghormati Pangeran
Mangkubumi. Aku juga curiga dengan orang itu. Bagaimana kalau Mangkubumi saja
yang kita suruh untuk menghadap Diponegoro dan menyampaikan undangan kita itu.”
“Bagus, itu juga rencana yang bagus.”
“Ya, saya takut kalau kita kirim kurir biasa, pemimpin
pemberontak itu tidak akan mau datang.”
“Baiklah, kowe atur saja. Yang penting segera undang itu
pemberontak Diponegoro ke sini menghadap kita. Kita tawarkan saja jabatan di
kraton ini. Jika dia menolak ya tangkap saja.”
“Jabatan di kraton?” tukas Danuredjo agak curiga.
Smissaert terkekeh, “Jangan takut Patih, kowe tidak perlu cemas
seperti itu…”
Danuredjo mengangguk-angguk tanda senang. “Ya, Tuan Residen.
Saya tahu itu. Tapi menurut hemat saya, kita juga harus tetap menyiagakan
pasukan, kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak kita duga.”
“Benar juga katamu. Kalau begitu panggil saja Chevallier ke
sini. Di mana dia sekarang? Dan jangan lupa, kita panggil juga si Mangkubumi…”
[]
Bab 10
NUSANTARA ADALAH TEMPAT DI MANA ALLAH menitipkan sebagian
kekayaan surga-Nya. Tanah dan air Nusantara teramat subur. Kekayaan alamnya
berlimpah-ruah. Udaranya bersih dan iklimnya bersahabat. Letak Nusantara juga
paling strategis di antara tempat di mana pun di dunia, di pandang dari segi
apa pun. Inilah yang menyebabkan negeri ini sejak berabad lalu hingga sekarang
menjadi rebutan kaum imperialisme dan kolonialis dunia, seperti halnya kafir
Spanyol, Portugis, Inggris, Perancis, dan sekarang Belanda.
Ironisnya, walau turun-temurun telah menjadi penghuni wilayah
yang sangat istimewa ini, rakyat Nusantara dari tahun ke tahun bukannya
bertambah makmur dan sejahtera, malah bertambah miskin dan melarat. Belanda
mengatakan jika hal itu disebabkan kemalasan dari orang-orang pribumi. Namun
bagi Diponegoro, tudingan itu sama sekali tidak berdasar. Sebagai orang yang
tumbuh besar bersama rakyat, dia tahu jika sejak sinar matahari menyingsing,
sudah banyak orang-orang pribumi yang pergi ke sawah dengan cangkulnya, dan ada
pula yang pergi ke pasar untuk menjual hasil bumi, atau menjual jasa sebagai
tenaga angkut. Dan mereka baru berhenti atau pulang ketika matahari sudah jauh
condong ke barat.
Bangsa ini adalah bangsa yang sangat rajin dan pekerja keras,
namun jika bangsa yang seperti ini malah menjadi miskin dan melarat, maka pasti
ada sesuatu yang salah dengan sistem kekuasaan yang ada.
Bagi seorang Diponegoro, satu-satunya jalan untuk mengeluarkan
bangsanya dari kemiskinan adalah dengan mengusir penguasa kafir dari Nusantara
dan menginsyafkan orang-orang pribumi yang sudah menjadi pelayan setianya.
Thagut harus ditumbangkan dan dihancurkan, diganti dengan sistem sosial dan
kemasyarakatan yang berkeadilan. Bukannya dengan mendekati thagut. Hal itu
hanya bisa dicapai dengan perjuangan berlandaskan akidah yang kuat, lurus dan
benar, dan sama sekali tidak bisa bekerjasama atau berkoalisi dengan Thagut
atau kemungkaran.
“Kanjeng Pangeran…,” tiba-tiba Ki Singalodra sudah berdiri di
sampingnya. Lelaki kekar dengan jambang dan janggut yang lebat ini-sehingga
sangat mirip dengan seorang Warok Ponorogo-sekarang wajahnya terlihat lebih
bersih dan rapi. Pangeran Diponegoro yang tengah berdiri melihat sawah yang
membentang di hadapannya dengan latar belakang Gunung Merapi, menoleh ke samping.
Ketika mengetahui siapa yang datang, Pangeran tersenyum.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Ki Singalodra..”
“Wa’alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh, Kanjeng Pangeran…”
“Ada apa, Kisanak?”
Ki Singalodra menundukkan kepalanya.
“Kanjeng Pangeran… Terima kasih sudah menerima saya sebagai
bagian dari barisan ini. Saya sebenarnya punya satu permintaan, maaf jika
Kanjeng Pangeran nantinya tidak berkenan…”
“Katakan saja, Ki…”
“Saya ingin menjadi pengawal utama dari Kanjeng Pangeran.
Biarkan saya menjaga Kanjeng Pangeran setiap waktu…”
Pangeran Diponegoro tersenyum bijak. Dia lalu menepuk-nepuk bahu
Ki Singalodra. “Sebaik-baiknya penjaga kita adalah Allah subhana wa ta’ala,
Kisanak…”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Saya juga paham. Tapi biarkanlah saya
menjadi perpanjangan tangan dari Allah subhana wa ta’ala untuk menjaga diri
Kanjeng Pangeran…”
“Terima kasih, Ki Singalodra… Apa yang menyebabkan Kisanak
hendak menjadi pengawal utamaku…”
Ki Singalodra tiba-tiba terdiam. Wajahnya dilempar jauh menghadap
ke sawah dan Gunung Merapi di kejauhan. Kedua matanya yang dilindungi alis yang
tebal terlihat basah. Dengan bergetar menahan haru, lelaki itu berkata lirih,
“Aku ingin cepat-cepat menggapai syahid fi sabilillah. Aku ingin cepat-cepat
berkumpul kembali dengan isteri dan anakku di surga. Bukankah orang yang syahid
akan membawa syafaat kepada keluarganya kelak?”
Diponegoro mengangguk pelan. Hatinya juga diliputih perasaan
haru mendengar pengakuan bekas penjahat itu. Dia kemudian memeluk Ki Singalodra
yang masih terisak. Orang itu agaknya benar-benar memendam rindu yang teramat
sangat kepada isteri dan anak satu-satunya.
“Kisanak, janganlah mengkhawatirkan anak dan isterimu yang
sekarang sudah hidup bahagia di surga. Mereka memang tengah menantikan hari di
mana Kisanak bisa berkumpul bersama-sama mereka. Dalam salah satu hadits Nabi
shalallahu wa’allaihi wasalam yang diriwayatkan dengan baik oleh Nasai,
Rasululllah bersabda bahwa pada hari kiamat, anak-anak kecil akan berdiri lalu
dikatakan kepada mereka, ‘Masuklah ke surga.’ Maka mereka mengatakan,’(Saya
akan masuk) sehingga bapak-bapak kami masuk (juga) ke surga.’ Lalu dikatakan
kepada mereka,’Masuklah kalian dan bapak-bapak kalian ke surga. Jadi anak
Kisanak itu sudah menunggu Kisanak di pintu gerbang surga. Janganlah cemas…”
Lalu Diponegoro membaca ayat-ayat Qur’an berkenaan dengan syahid
fisabilillah. Antara lain surat al-Baqarah ayat 154, “Janganlah kalian berkata
bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup,
tetapi kalian tidak menyadarinya.” Lalu juga surat Ali Imron ayat 169.
“Ketahuilah Kisanak.., siapa pun yang menggapai mati syahid,
maka dia akan dapat memberikan syafaat bagi tujuhpuluh orang anggota
keluarganya. Itu janji Rasulullah yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
Abu Dawud.”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Sebab itu saya ingin cepat-cepat
meraih syahid itu. Izinkan saya untuk menjaga Kanjeng Pangeran. Bagi saya dan
teman-teman, pintu-pintu surga sebentar lagi akan membentang di depan mata.
Namun bagi Kanjeng Pangeran tidak. Perjalanan Kanjeng Pangeran masih panjang.
Kanjeng Pangeran harus membebaskan negeri ini dahulu dari tangan kaum kafir dan
para pelayannya sebelum menemui syahid. Sebab itu izinkanlah saya mengawal
Kanjeng Pangeran agar Kanjeng Pangeran bisa menunaikan tugas dengan paripurna…”
Kedua mata Pangeran Diponegoro berkaca-kaca. Maha Besar Allah.
Hidayah bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Dan hidayah bisa mengubah
seorang jagoan yang tangannya berlumuran darah seperti Ki Singalodra menjadi
Singa Allah yang telah bertekad untuk menghibahkan jiwa dan raganya semata-mata
di jalan Allah. Suatu perniagaan yang tidak akan pernah merugi hingga akhir
dunia.
“Apa yang sebenarnya mendorong Kisanak untuk bergabung denganku
melawan kafir Belanda?” (Bersambung)
Ki Singalodra terdiam sejenak.
Kemudian dia menjawab, “Mereka telah membunuh anak dan isteriku, Kanjeng
Pangeran…”
Diponegoro menganggukkan kepalanya, “Ya, soal itu saya sudah
mendengarnya. Itu saja?”
“Ya, Kanjeng Pangeran…”
“Jika demikian, kalau anak dan
isterimu tidak dibunuh Belanda, makaKisanak masih
akan membela orang-orang kafir itu?” selidik Diponegoro dengan senyum tulus
yang mengembang di sudut bibirnya.
Ki Singalodra menundukkan kepalanya. “Maafkan saya, Kanjeng Pangeran…
Saya memang tidak banyak paham dengan agama Islam.”
Diponegoro memegang kedua bahu
lelaki itu. “Tidak mengapa Kisanak. Apa
yang dilakukan Kisanakdengan membela kafir Belanda juga dilakukan oleh banyak
saudara-saudara kita. Itu disebabkan ketidaktahuan Kisanak akan
agama Allah ini. Kisanak khilaf dan jika bertobat maka Allah Maha Pengampun.
Sayangnya, ada banyak saudara-saudara kita yang mengerti tentang Islam, namun
mereka malah memilih untuk bersekutu dengan kafir Belanda. Mereka beralasan,
jika mereka tidak masuk ke dalam lingkaran pusat kekuasaan, maka akan semakin
kotor dan zalimlah kekuasaan itu. Namun nyatanya, ketika ikut-ikutan masuk ke
dalam pusat kekuasaan, tinggi sama tinggi dan duduk sama rendah dengan para
pejabat kraton lainnya, makan semeja dengan kaum kafir, yang terjadi bukannya
pejabat kraton yang terwarnai mereka, namun sebaliknya. Orang-orang yang tahu
agama itu malah terwarnai oleh pandangan dan sikap hidup orang-orang jahil dan
orang-orang kafir itu. Mereka yang tadinya memandang dunia hanya sebagai sarana
untuk menuju keridhoan Allah, sekarang banyak yang memandang dunia sebagai
tujuan utama. Dunia sudah menguasai hati dan pikiran mereka, bukan lagi panji
syahadah… Dan Islam telah menjadi sekadar alat untuk menipu umat dan memperkaya
diri…”
“Itu benar, Kanjeng Pangeran. Orang-orang yang tahu agama itu,
yang dulu hidup sederhana, berpuasa Daud, sekarang malah suka hidup
bermewah-mewah dengan uang yang tidak jelas. Mereka tidak lagi memperdulikan
umatnya. Tidak lagi peduli dengan perjuangan menegakkan agama Allah ini. Yang
mereka pikirkan hanyalah cara agar mereka bisa bertambah kaya dan kaya…”
Diponegoro kembali tersenyum,
“Benar, Kisanak. Sebab itu, apa yang Kisanak jalani
di masa lalu insya Allah akan diampuni Allah subhana wa ta’ala,
karena dahulu Kisanak jahil terhadap Islam. Ini sungguh berbeda dengan para
ustadz dan ulama yang sekarang sudah duduk semeja dengan penguasa. Mereka
itulah kaum yang Allah katakan sebagai orang-orang yang menukar agamanya dengan
kehidupan dunia….”
Diponegoro menarik nafas
dalam-dalam. Perasaannya berat. Agaknya dia sungguh-sungguh prihatin dengan
sikap dan kelakuan sejumlah ulama yang seperti itu. Kemudian dia bertanya lagi
kepada Ki Singalodra, “Kisanak, motivasi Kisanak untuk memerangi Belanda itu tidak lebih dari
pelampiasan dendam. Itu bisa dimaklumi walau kurang baik. Kisanak harus
mengikhlaskan apa yang sudah menjadi suratan Allah. Satu-satunya niat yang
benar dan lurus di dalam berjuang adalah menegakkan panji tauhid demi menggapai
ridho Allah. Itu saja. Jangan campur-adukkan dengan motivasi-motivasi yang
lainnya. Sebab semua itu akan merusak keikhlasan kita di dalam berjihad.
Mengerti Kisanak?”
“Insya Allah, saya
paham, Kanjeng Pangeran…”
“Alhamdulillah. Nah,
sekarang apa yang ingin Kisanak lakukan?”
Ki Singalodra mengangkat wajahnya. Dengan takut-takut dia
menatap wajah Pangeran Diponegoro. “Maaf, beribu maaf, Kanjeng Pangeran. Saya
ingin menjadi pengawal utama dari Kanjeng Pangeran. Itu saja…”
Pangeran Diponegoro akhirnya
tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Dengan izin Allah. Insya Allah, Kisanak akan
selalu berada di sisiku di dalam perjuangan menegakkan kalimat tauhid ini,
siang dan malam. Bismillah, Kisanak….”
Ki Singalodra tidak dapat lagi menahan airmata yang kini
akhirnya luruh di kedua matanya. Dia yang kini gantian memeluk Diponegoro
sambil menangis sesenggukan bagai anak kecil.
“Semoga Allah subhana wa ta’ala selalu
menyatukan hati kita di jalan lurus ini, Kanjeng Pangeran, hingga kita nanti
bisa berjumpa kembali di Jannah di dalam barisan panjang kaum mujahidin…”
“Amien Ya Rabb al’amien….“
Ki Singalodra menatap langit yang membiru. Bibirnya tersenyum.
Dia teringat masa kecilnya, di mana sang kakek sering menceritakan jika
buyutnya adalah orang-orang hebat. “Kakek buyutmu itu, Singalodra, bernama
Wulung Ludhira. Ketika Susuhunan Amangkurat I membantai enamribuan ulama di
Plered tahun 1647, kakek buyutmu itu yang masih berusia sepuluh tahun adalah
satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan diri. Dari mulut kakek buyutmu
itulah, kita semua tahu betapa Amangkurat I itu sangat lalim. Aku yakin, engkau
kelak juga menjadi orang besar. Yakinlah itu!”
Sekarang Ki Singalodra mengerti, Allah telah memilihnya untuk
mendampingi dan mengawal Pangeran Diponegoro. Ini adalah tanggungjawab besar
yang hanya bisa dilakukan oleh orang hebat. []
Bab 11
HARI BELUM BEGITU SIANG KETIKA Pangeran Mangkubumi tiba di
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Baru saja Mangkubumi turun dari kudanya,
seorang prajurit jaga dengan tergesa menghampiri dirinya dan mengatakan jika
Patih Danuredjo dan Residen Smissaert yang masih berada di kraton sedang
menunggunya.
“Ada apa mereka menungguku, Suryo?”
“Maaf Pangeran, saya kurang tahu…”
Dengan langkah lebar-lebar, Pangeran Mangkubumi berjalan menuju
ruang kepatihan. Dia benar-benar muak mencium aroma alkohol dan tembakau yang
begitu merebak di aula kraton. Tiba di ruangan kepatihan, Mangkubumi langsung
masuk tanpa mengetuk pintu lagi. Benar saja, di dalam kamar kerja Danuredjo,
kedua orang itu sudah menunggunya.
“Darimana saja engkau Pangeran?” sapa Smissaert yang duduk di
belakang meja milik Danuredjo. Seperti biasa, kedua kakinya diangkat ke atas
meja. Mangkubumi benar-benar marah. Namun dia berusaha untuk bisa mengendalikan
diri.
“Menengok sawah,” jawab Mangkubumi singkat. “Ada apa Tuan
Residen memanggilku?”
Smissaert tersenyum. Demikian pula dengan Danuredjo yang duduk
di sampingnya.
“Duduk dulu Pangeran…”
“Tidak. Biar saya berdiri di sini saja.”
“Baguslah. Nah, ada tugas untukmu yang harus dikerjakan
secepatnya…”
“Tugas? Secepatnya?”
“Ya.”
“Apa itu?”
“Temui Diponegoro sekarang. Suruh dia menghadapku disini. Dia
harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dia sudah banyak mengganggu
ketertiban umum! Dia harus bertanggungjawab! Aku menunggunya di sini…”
“Ada surat undangannya?” tanya Mangkubumi tetap dingin. Kedua
tangannya bersedekap di depan dadanya yang sengaja dibusungkan. Baginya,
bersikap sombong di depan orang kafir adalah baik.
Anthonie Hendriks Smissaert menjentikkan jarinya, memberi
isyarat pada Danuredjo untuk mengambilkan surat pendek yang telah dilipat dan
disegel dengan rapi. Patih Dalem itu segera berdiri dan mengambil surat yang
diletakkan di atas meja kecil yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran serong
di sudut ruangan.
“Ini suratnya Tuan Residen…,” ujar Danuredjo sembari badannya
membungkuk ke arah Smissaert yang masih duduk dengan pongah.
“Berikan saja langsung ke dia…,” ujar Smissaert dengan acuh.
Dengan sikap hormat yang dibuat-buat, Danuredjo menyerahkan
surat itu kepada Pangeran Mangkubumi. Salah seorang paman dari Diponegoro itu
merebut surat dari Danuredjo tanpa mengucap sepatah kata pun. Surat itu
langsung dimasukkan kedalam saku bajunya. Danuredjo sendiri kembali duduk di
samping Smissaert seperti anak ayam berlindung di balik ketiak induknya.
“Saya berangkat,” ujar Mangkubumi seraya langsung balik badan
dan keluar ruangan begitu saja. Tanpa menghormat atau pun memberi salam.
Keluar dari kamar kepatihan, Mangkubumi memacu kudanya kembali
ke arah Tegalredjo. Jarak antara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Desa
Tegalredjo tidak begitu jauh. Jalannya pun sudah lebar, walau jika di musim
hujan sangat menyulitkan karena licin dan tanahnya banyak lubang. Namun bulan
Juli adalah bulan musim panas. Jadi Mangkubumi bisa memacu kudanya dengan lebih
cepat.
Dari kraton menuju Tegalredjo
terdapat tiga buah pos penjagaan di mana orang yang lewat harus membayar bea
jalan atau pajak jalan. Namun Mangkubumi terus saja menggebrak kudanya dengan
melompati portal penghalang yang ada sehingga dia sama sekali tidak membayar
pajak. Petugas jaga yang ada di pos jalan juga sudah memakluminya. Tapi jangan
coba-coba jika rakyat biasa yang lewat, mereka wajib membayar bea jalan. Tidak
ada cara lain. Peraturan biasanya memang hanya berlaku untuk kawulo alit, namun
tidak untuk para penggede… [] (Bersambung)
Bab 12
IKATAN TALI KEKANG KUDA YANG dikendarai Pangeran Mangkubumi agak
mengendur. Paman Diponegoro itu melambatkan kecepatan kudanya dan berhenti
terlebih dahulu di bawah batang kekar Delonix Regia[1] yang berdaun lebat
dengan bunga-bunga merah yang bermekaran di sana-sini. Tak sampai semenit dia
sudah mengencangkan ikatan itu. Dengan sekali gebrak, kudanya pun kembali
melesat.
Usai melewati Kali Winongo di daerah Pringgokusuman, Mangkubumi
melambatkan lari kudanya. Sejauh mata memandang, hamparan sawah dan kebun
terlihat begitu indah. Tapi bukan itu yang membuat dia menurunkan kecepatan
kudanya. Di berbagai mulut gang dan jalan desa, para lelaki dewasa, bahkan
banyak yang masih remaja belasan tahun, tampak berkerumun lengkap dengan
senjatanya masing-masing. Ada yang membawa golok, keris, pisau panjang, clurit,
tombak atau bambu yang yang diruncingkan ujungnya, trisula, dan lain
sebagainya.
“Ada apa ini?” tanya Mangkubumi di dalam hati.
Ketika mereka melihat siapa yang sedang berada di atas kuda,
semuanya membungkukkan badan dengan takzim. Pangeran Mangkubumi menyapa mereka
dengan hangat dan menghampiri salah satu dari mereka.
“Ada apa Kisanak bergerombol seperti ini lengkap dengan
senjata?” tanyanya sambil tetap berada di atas pelana kuda.
Salah seorang bapak yang menyelipkan keris di pinggangnya
menjawab, “Beribu ampun Kanjeng Pangeran. Kami ingin membela Kanjeng Pangeran
Diponegoro. Kami dengar Belanda akan menangkap beliau…”
Pangeran Mangkubumi tersenyum, “Siapa yang mengabarkan berita
itu kepada kalian?”
“Demang[2], Kanjeng Pangeran…”
Mangkubumi kembali mengangguk-anggukan kepalanya, “Ya, Demang
kalian benar…”
Lalu sebelum memacu kudanya kembali dia berpesan pada semuanya,
“Saudara-saudaraku, tanah makam leluhur memang telah dipatoki Belanda dan Patih
Danuredjo tadi malam. Pangeran Diponegoro sekarang memang tengah bersiap jika
nanti terjadi hal-hal yang buruk. Pesan saya, tetaplah bersiaga. Sampai ada
perintah selanjutnya…”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Kami siap…,” sahut mereka serempak
sembari mengacungkan berbagai senjata yang mereka miliki. Mangkubumi
menganggukkan kepalanya kembali.
“Allah bersama kita! Allahu Akbar!” teriaknya.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!!” teriak orang-orang di bawahnya
dengan bergemuruh.
“Saya sekarang akan menemui Pangeran Diponegoro. Tunggu
perkembangan selanjutnya!”
Mangkubumi kembali memacu kudanya menuju Desa Tegalredjo yang
sudah terlihat di kejauhan. Semakin mendekati Tegalredjo, semakin banyak rakyat
yang berkumpul di pinggir jalan dan juga di bukit-bukit lengkap dengan
senjatanya. Bahkan beberapa di antaranya sudah menunggang kuda. Perasaan haru
meliputi Mangkubumi. Rakyat Yogya memang sungguh-sungguh mencintai Pangeran
Diponegoro dengan perjuangannya. Bagi rakyat Yogyakarta, Diponegoro bukan lagi
seorang pangeran, namun sudah menjadi sultan yang sesungguhnya. Kenyataan ini
menjadikan semangat di dalam dada seorang Mangkubumi untuk berjuang di sisi
keponakannya semakin besar.
“Aku akan berdiri di sisinya!” bathin Mangkubumi mantap. []
Bab 13
LANGIT SIANG BEGITU CERAH. ANGKASA terlihat biru. Di beberapa
bagian ke arah utara, awan tipis seputih kapas tampak berarak bagai gelombang
prajurit berjubah putih yang berbaris menyongsong ke medan laga. Berbeda
seratus delapan puluh derajat dengan raut wajah Patih Danuredjo siang itu. Usai
Pangeran Mangkubumi pergi ke Tegalredjo, membawa perintah Smissaert untuk
membawa Pangeran Diponegoro ke kraton, Residen Yogyakarta malah memarahi
dirinya. Padahal dia sudah dengan segenap tenaga melayaninya.
Pasalnya kabar pasukan bantuan dari Mangkunegaran belum juga ada
kepastiannya. Demikian pula yang dari Sumenep dan Tidore. Padahal dari sejumlah
telik sandi Belanda yang ditanam di dalam barisan Diponegoro diperoleh informasi,
jika beberapa hari lalu Diponegoro telah memberikan sejumlah uang yang tidak
diketahui asal sumber dananya, kepada dua orang kepercayaannya untuk dibelikan
sejumlah senjata api.
Smissaert tahu, pasukan inti dari Diponegoro tidak bisa dianggap
remeh. Diponegoro memiliki jaringan yang sangat kuat tidak saja di wilayah
Yogyakarta, tapi juga meluas jauh melebihi garis pantai Pulau Jawa. Para
pendukungnya terutama dari kalangan ulama dan pondok pesantren. Belum lagi
pasukan perempuannya yang dilatih sendiri oleh Ratu Ageng. Kebanyakan dari
laskar perempuannya adalah para desertir dari Bregada Langen Kesuma, yang
sangat mahir dalam olah kanuragan dan juga penggunaan senjata. Semua itu
ditambah dengan pasukan telik sandinya yang cukup hebat dan dapat dukungan dari
akar rumput, yakni rakyat Yogyakarta dan sekitarnya.
Sebab itu, ketika belum ada jawaban pasti dari berbagai pasukan
lokal yang diharapkan bisa membantu Belanda, Smissaert sangat gusar. Semua
kegeraman itu ditumpahkannya pada Patih Danuredjo yang dianggapnya hanya bisa
menjilat namun tidak berusaha maksimal.
“Patih, kowe sekarang sudah hidup enak. Kowe sudah menjadi
sultan yang sesungguhnya dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kowe bisa
dengan mudah menipu Sultan Menol yang masih lima tahun itu. Kowe punya banyak
rumah, tanah, hewan ternak, dan lainnya. Perempuan mana saja yang kowe mau
pasti dapat, dari yang masih gadis sampai janda kembang, dari yang masih bau
kencur sampai yang sudah seperti mangga masak. Tapi kowe masih saja bekerja
setengah-setengah membantu kita. Apa semuanya mau kita cabut lagi, hah!”
Dengan menyembah-nyembah tanpa memperdulikan harga diri, Patih
Danuredjo memohon-mohon kepada Smissaert agar Residen Yogya itu bersabar
sedikit. “Sabar, Tuan. Saya sudah berusaha sebaik-baiknya. Mereka pasti datang.
Tunggulah sampai sore, pasti ada berita baik buat kita…”
“Kowe menyuruh saya sabar. Enak saja. Sekarang begini saja,
kalau sampai sore tidak ada kabar beritanya, maka kowe jangan harap bisa hidup
dengan enak lagi…”
“Aduuuh… Janganlah sekejam itu, Tuan. Pasti, Tuan. Pasti akan
ada beritanya. Mereka pasti datang…”
“Sudahlah! Cepat kowe atur itu orang-orang agar kowe bisa
selamat!”
“Baik. Baik, Tuan. Saya akan atur semuanya.”
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Smissaert beranjak dari kursinya
dan berjalan keluar ruangan menuju kamar tidur. Dia agaknya masih mengantuk
setelah semalaman hingga dini hari berpesta pora. Patih Danuredjo sendiri
keluar dari ruangan kerjanya dan memerintahkan agar prajurit jaga memanggil Ki
Sentono, salah seorang kepercayaannya.
“Cari dia cepat! Suruh dia selekasnya menghadapku!” ujar
Danuredjo.
Suryo Widhuro, sang prajurit jaga ruangan kepatihan siang itu,
segera berlari. Danuredjo kembali ke ruangannya dan mencoba untuk menenangkan
diri. Hatinya benar-benar panas mendapat omelan dari Smissaert. Dia mengutuk
Belanda itu. Namun hanya itu yang bisa dilakukannya. Hidupnya sepenuhnya
tergantung pada orang itu. Segala kenikmatan dan kelezatan hidupnya diperoleh
berkat pengabdiannya kepada Belanda.
Duduk seorang diri di ruangan kerjanya membuat Danuredjo tidak
kerasan. Dia lalu berdiri dan membuka pintu samping yang langsung menuju kamar
tidurnya. Dengan perlahan tangannya memegang gagang kunci dan mendorong pintu
itu kedalam. Dari pintu yang terbuka, Danuredjo bisa mengintip seorang
perempuan muda masih berkemul di atas pembaringan. Kedua matanya masih
tertutup. Pundaknya yang putih mulus tersingkap. Juga betisnya. Pemandangan itu
membuat darah Danuredjo naik sampai ke ubun-ubun. Kelelakiannya serasa terbakar
kembali. Dengan cepat dan hati-hati dia segera mengunci pintu kamar. Lalu bagai
seekor serigala kelaparan, dia langsung melompat ke tempat tidur. Perempuan itu
terbangun. Dia malah tersenyum ketika melihat Danuredjo yang datang.
RESIDEN YOGYAKARTA A.H. Smissaert tidak langsung menuju kamar
tidurnya. Wakil Residen Chevallier mencegatnya beberapa tombak dari pintu kamar
tidur residen tersebut.
“Tuan memanggilku?” tanya Chevallier. Letnan Satu Kavaleri
peraih medali kehormatan Ridder M.W.O dalam Palagan Waterloo[3] ini memberikan
military salute[4] dengan sikap tubuh tegak sempurna. Residen Smissaert hanya
menganggukkan kepalanya.
“Ya. Pagi ini juga kau siapkan pasukan kita di Yogyakarta. Cek
juga bantuan dari Magelang dan Semarang. Bila perlu hubungi langsung Kolonel
Von Jett yang ada di sana. Kita akan segera menangkap Diponegoro. Pemberontak
itu sekarang sudah punya pasukan bersenjata, kita harus bersiap menghadapi
segala kemungkinan…”
Di dalam hatinya Chevallier tertawa. Dia sudah tahu semua
perkembangan terkini dari Residen Surakarta Mac Gillavry. Namun wajahnya tetap
menunjukkan sikap profesionalnya sebagai Wakil Residen.
“Siap, laksanakan!” [] (Bersambung)
[1] Nama latin untuk tumbuhan Bunga Flamboyan.
[2] Semacam kepala desa.
[3] Palagan atau Pertempuran Waterloo terjadi pada tahun…… antara
pasukan Prancis di bawah komando Jenderal Napoleon Bonaperte melawan
[4] Military Salute adalah pemberian hormat secara militer dengan
tangan kanan diangkat setinggi pelipis atau di atas mata kanan. Hampir seluruh
pasukan di dunia modern sekarang masih menggunakan cara penghormatan seperti
ini.
Bab 14
MANGKUBUMI SUNGGUH-SUNGGUH TIDAK ENAK hati menyampaikan surat
dari Residen Smissaert kepada Pangeran Diponegoro. Untunglah, keponakannya itu
sangat bijaksana sehingga tidak timbul syak wasangka di antara mereka.
“Paman, katakan kepada kafir Belanda itu jika saya sama sekali
tidak tertarik dengan semua yang ditawarkannya. Tidak ada jabatan dan kedudukan
yang lebih tinggi dan yang lebih aku inginkan terkecuali menjadi hamba yang
dicintai Allah dan Rasul-Nya. Saya hanya menginginkan itu. Saya juga ingin kafir
Belanda itu segera angkat kaki dari bumi Jawa ini, dari Nusantara ini, dan
biarkanlah negeri yang indah dan kaya ini kembali menjadi milik pewarisnya yang
sah, yaitu kita semua. Kita sama sekali tidak memerlukan kehadiran mereka
sebagai penguasa di sini…”
“Mereka tidak akan sudi melakukan itu semua…”
“Tidak mengapa, paman. Jika mereka tetap bersikeras untuk
meneruskan penjajahan ini dan ingin terus menindas rakyat seperti sekarang ini,
juga memerangi agama kita, maka tiada jalan lain kecuali kita harus mengusir
mereka dengan pedang. Allah telah menyatakan itu di dalam kitab suci Al-Quran.
Sebab itu, sejak jauh hari kita memang telah bersiap untuk menghadapi segala
kemungkinan. Kita sangat cinta damai, tapi jika musuh ingin berperang maka
seribu pertempuran akan kita gelar!”
Kemudian Diponegoro mengutip
salah satu ayat al-Quran, surat Al-Anfal ayat 60 yang berbunyi, “Dan persiapkanlah untuk
menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang
ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh
Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya,
sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah,
niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya.”
Mendengar jawaban yang sangat tegas itu, Pangeran Mangkubumi
seperti tersihir oleh pesona seorang Diponegoro yang begitu agung.
Seharusnya memang dia yang
menjadi sultan di tanah ini!
“Jadi apa keputusanmu, Pangeran?”
“Maaf, paman. Katakan kepada kafir Belanda itu bahwa aku sama
sekali tidak tertarik dengan semua tawarannya. Dan untuk undangannya menghadap
residen kafir itu, ucapkan terima kasih karena telah mengundangku, namun aku
tidak akan datang kepada dia sampai kapan pun. Itu saja.”
Mangkubumi sudah menduga jika keponakannya akan bersikap
demikian. Dan itu sangat dihargai olehnya. Dia segera pamit untuk menyampaikan
jawaban itu kepada Residen Smissaert.
“Pergilah paman. Semoga Allah subhana wa ta’ala melindungi
dan mempermudah semua urusan Paman…”
“Terima kasih, Pangeran….”
Usai mengucap salam, Mangkubumi pun pergi kembali ke kraton saat
itu juga. Debu-debu mengepul dari kaki kudanya yang terbang bagaikan angin. []
Bab 15
IBARAT PELURU YANG TIDAK BISA dihentikan jika sudah dimuntahkan
dari laras senapan, demikian pula dengan kehidupan seseorang di masa sekarang
yang sesungguhnya merupakan konsekuensi dari keputusan orang itu di dalam
menjalani hidup pada mulanya. Hidup, sebagaimana halnya dengan sang waktu,
terus berjalan ke depan, mustahil untuk bisa dimundurkan walau barang sekejap.
Berkali-kali sanubari seorang Patih Danuredjo merasakan hal itu
dan sedikit banyak menyesalinya. Namun berkali-kali pula, Danuredjo menyangkal
suara hatinya sendiri dengan mengatakan jika sesuatu itu sudah kehendak Yang
Maha Kuasa. Manusia hanya menjalani takdir yang sudah digariskan. Danuredjo
selalu merasa gelisah. Namun semua itu dengan kuat berusaha ditutupinya dengan
senyum dan sikapnya yang sulit ditebak.
Siang itu, usai kesekian kalinya melepaskan hasrat pada
perempuan muda yang seakan tiada pernah terpuaskan, Patih Danuredjo tampak
termangu sendirian duduk di belakang meja kerjanya. Tidak tampak Residen
Smissaert yang sepertinya bersungguh-sungguh meneruskan istirahatnya. Dan
Danuredjo bersyukur atas hal itu.
Sudah hampir satu jam lamanya dia duduk di atas kursi di ruangan
utama kepatihan, namun Ki Sentono belum juga menampakkan batang hidungnya.
Kemarin pagi, Danuredjo memang memerintahkan salah satu orang kepercayaannya
itu untuk meminta konfirmasi dari pihak Mangkunegaran soal kesiapannya membantu
pihak Belanda dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, jika terjadi sesuatu yang
buruk terkait dengan pembangkangan Pangeran Diponegoro. Namun sampai sekarang
orang itu belum muncul-muncul juga untuk memberikan laporannya.
Tahun lalu ketika berkunjung ke Kraton Mangkunegaran, Danuredjo
mendapat janji bahwa Legiun Mangkunegaran akan membantu pemerintah Belanda dan
juga kraton jika diperangi musuh atau pun pemberontak. Danuredjo tadinya merasa
aman posisinya dengan dibentuknya Dewan Perwalian dimana Diponegoro mau
bergabung. Namun ketika tahun 1822 Pangeran Diponegoro mengundurkan diri dari
Dewan Perwalian dan memilih berjuang di luar struktur pemerintahan sama sekali,
dengan membawa serta Mangkubumi, maka Patih Danuredjo baru merasa cemas. Ini
berarti pemerintah tidak bisa lagi mengendalikan sepak terjang Diponegoro.
Sosok yang satu ini telah semakin sukar untuk diawasi. Apalagi di kemudian
hari, banyak ulama, pangeran, kepala daerah, dan sejumlah jagoan atau jawara
bergabung dengannya. Mereka sama-sama ingin mengusir Belanda dari Tanah Jawa
dan itu berarti ‘celaka tiga belas’ bagi Patih Danuredjo.
Ketukan pintu tiga kali terdengar cukup keras membuyarkan
lamunan Danuredjo.
“Ya, masuk!”
Seorang prajurit jaga membuka
pintu, “Maaf Kanjeng Patih Dalem, Ki Sentono sudah ada di aula
depan…”
“Bawa saja ke sini sekarang juga!”
“Inggih, Kanjeng Patih… Laksanakan!”
Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki yang berjalan
dengan cepat di atas lantai kraton. Ketukan kembali terdengar di pintu ruangan.
“Masuk saja!”
Seorang lelaki tua bertubuh pendek gempal dan berpakaian serba
putih, dengan janggut dan kumis yang juga sudah mulai memutih, masuk ke dalam
ruangan kerja kepatihan dan membungkukkan badannya menghormat Patih Danuredjo.
“Assalamu’alaikum warahmatullah
wabarakatuh, Kanjeng Patih Dalem…”
Danuredjo berdiri dan menyambut
orangtua itu, “Wa’alaikumusalam Ki Sentono. Mari duduk di
sini dan bagaimana kabar dari teman-teman?”
Ki Sentono duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Danuredjo.
Dengan senyum mengembang, lelaki tua yang jidatnya menghitam seperti bekas
sujud itu mulai melaporkan hasil kerjanya.
“Maafkan saya jika terlambat melapor kepada Tuan. Saya berhasil
mendapatkan konfirmasi dari Kraton Mangkunegaran jika Legiun mereka-termasuk
pasukan khusus Jayeng Sekar jika diperlukan-sudah sangat siap untuk bergerak
merapat ke kita. Demikian juga dengan Panembahan Sumenep Madura, Sultan Madura,
Mayor Raja Sulaiman dari Buton, Laskar Suku Alifuru-Tidore, dan Laskar Ternate.
Beberapa pangeran, kepala desa, dan yang lainnya juga sudah siap untuk membantu
pemerintah. Termasuk sejumlah korps pasukan yang berada langsung di bawah para
Bupati.”
“Apakah semuanya pasti akan
membantu kita, Ki Sentono? Kisanak bisa
menjamin hal itu?”
“Diri saya menjadi jaminannya, Tuan Patih. Bahkan Kanjeng
Mangkunegara II sudah menyatakan siap dipanggil kapan pun ke Yogyakarta jika
diperlukan. Dari yang lainnya, pasukan dari Mangkunegaran memang yang terdekat
dengan kita. Mereka akan tiba di Yogya dalam waktu yang tidak lama…”
“Ya. Kisanak benar…”
Danuredjo menghembuskan nafasnya lega. Dia tahu jika saat ini
Belanda sedang dalam keadaan lemah secara militer. Sebagian pasukan regulernya
masih dalam penugasan ekspedisi militer ke Celebes[1] dan Borneo. Satu-satunya
harapan hanyalah bantuan dari pasukan reguler Belanda yang ada di Surakarta dan
Semarang yang berada di bawah pimpinan Kolonel Von Jett. Perwira ini adalah
komandan kesatuan militer terbesar kedua di Jawa yang bermarkas di Semarang.
Namun itu pun jumlahnya masih dianggap kurang oleh Danuredjo. Sebab itu, ketika
mendengar jaminan dari Ki Sentono, Patih Danuredjo sangat bersuka cita.
Wajahnya yang tadinya tegang kini sudah bisa tersenyum kembali. (Bersambung)
[1] Celebes adalah nama lain dari Sulawesi.
“Ki Sentono, entah apa yang
harus saya ucapkan kepadamu. Apa yang sudah Kisanak kerjakan akan sangat
berarti bagi kita semua, bagi pemerintahan yang kita sama-sama berada di
belakangnya. Aku berjanji, Kisanak akan mendapatkan hadiah dari pemerintah. Dan
kapan mereka semua akan bergerak?”
“Semuanya tinggal menunggu perintah Tuan Patih saja.”
Danuredjo mengangguk-anggukan kepalanya. Residen Smissaert harus
segera diberitahu hal ini. Tetapi dia agak jengkel juga terhadap Residen
pengganti Baron de Salis ini yang menurutnya tidak bisa bekerja dengan cepat.
Danuredjo menggerutu. Namun bagaimana pun, Smissaert sekarang adalah orang yang
harus dilayaninya dan dia harus bekerja dengan sebaik-baiknya agar posisinya
sungguh-sungguh aman.
“Ki Sentono,” ujar Danuredjo. “…Kisanak sekarang saya
perintahkan untuk ke Tegalredjo. Membaurlah di sana dan laporkan dengan cepat
perkembangan yang terjadi di sana. Beberapa teman kita yang juga sudah berada
di Tegalredjo akan membantu Kisanak.”
“Apakah kodenya berubah, Tuan Patih?”
Danuredjo kembali tersenyum. Dia kemudian melihat ke kanan dan
kiri ruangan. Sepi. Dengan pelan Danuredjo menangkupkan kedua tangannya ke
telinga Ki Sentono dan berbisik, “Parangkusumo dan Progo.”
“Tanda?”
“Tali putih dan hijau pada ujung gagang senjata…”
Ki Sentono mengangguk. Ini berarti setiap pasukan telik sandi
dari Danuredjo akan mengikat ujung gagang senjatanya, apakah itu keris, pedang,
kelewang, atau pun yang lain, dengan tali putih dan hijau. Dan untuk
konfirmasi, dia harus mengucapkan “Parangkusumo” dan orang yang dimaksud harus
menjawab, “Progo”.
“Sekarang pergilah Ki Sentono. Selamat bertugas.”
Ki Sentono membungkukkan badannya dan mengucap salam kembali.
Setelah itu dia keluar dari ruangan. Danuredjo kembali sendirian di dalam
ruangannya. []
Bab 16
AKHIRNYA RESIDEN SMISSAERT KELUAR JUGA dari kamar tidurnya.
Dengan kedua mata yang masih sembab dan seluruh wajahnya kemerah-merahan bagai
udang rebus, pejabat Belanda itu membanting pantatnya di atas kursi kerja
Danuredjo. Dan seperti biasan, kedua kakinya diangkat ke atas meja.
“Bagaimana kabar Mangkubumi? Apakah dia sudah balik dari
Tegalredjo?”
Danuredjo menggelengkan kepalanya, “Belum Tuan Residen… Tapi
saya mendapat kabar bahwa dia sedang menuju ke sini dengan membawa jawaban dari
Diponegoro.”
“Well, kita tunggu saja di sini.”
Belum kering bibir Smissaert berbicara, pintu ruangan terbuka.
Sosok Mangkubumi sudah berada diambang pintu. Dengan langkah tegap dia masuk ke
dalam ruangan. Tanpa memberi salam dia langsung memberikan jawaban Diponegoro
yang disampaikan secara lisan.
“Pertama-tama Pangeran Diponegoro mengucapkan terima kasih atas
undangan Tuan Residen. Tapi dia menolak memenuhinya. Pangeran Diponegoro juga
menolak semua tawaran yang Tuan ajukan. Dia hanya ingin supaya Patih Danuredjo
dipecat dan Belanda angkat kaki dari Tanah Jawa. Baginya, tiada tawaran atau
jabatan yang paling utama kecuali mengharapkan kecintaan dan keridhaan Allah
Yang Maha Kuasa. Dia ingin supaya Tuan Residen menginsyafi kesalahannya dengan
membuat jalan di atas tanah makam leluhur tanpa izin. Itu saja.”
Wajah Smissaert merah padam. Dengan penuh amarah dia berteriak,
“Diponegoro tidak usah menceramahiku soal tuhannya! Dia benar-benar tidak tahu
diuntung! Dia ingin perang, maka kita akan beri dia perang yang besar!”
Danuredjo hanya berdiam diri. Dia menatap lantai ruangan
kerjanya sendiri yang sepertinya semakin lama entah mengapa semakin membuatnya
gerah. Namun beda dengan Mangkubumi. Lelaki ini tidak terpengaruh dengan
kemarahan Smissaert yang bagaikan letusan Gunung Merapi. Dia tetap berdiri
dengan tenang dan menatap langsung ke arah residen itu.
“Apalagi yang dikatakan pemberontak itu padamu?”
“Tidak ada lagi,” ujar Mangkubumi. “…Hanya saja, menurut
hematku, pembangunan jalan raya dengan menerabas tanah makam leluhur dan
sebagian kebun milik Diponegoro tanpa izin memang tidak bisa dibenarkan. Aku
pun secara pribadi keberatan karena itu adalah tanah makam leluhurku juga…”
“Aku tidak minta pendapatmu. Kowe hanya perlu menjawab
pertanyaanku. Itu saja,” ujar Smissaert ketus. Mukanya yang bulat masih merah
padam.
“Bagaimana Patih? Apakah kowe punya rencana lagi?” tanya residen
itu pada Danuredjo.
“Kita beri peringatan terakhir saja kepada Diponegoro. Jika
peringatan terakhir ini, berikut batas waktunya, dia masih juga membangkang,
maka itu berarti dia memang menginginkan perang.”
Smissaert agaknya kurang berkenan dengan usulan Danuredjo kali
ini. Dia sempat berdiam agak lama. Setelah menimbang-nimbang sejenak, Smissaert
akhirnya tidak punya pilihan. Pihaknya bagaimana pun juga harus mengulur waktu
karena pasukan yang tersedia belum kuat, sedangkan pasukan bantuan belum
datang. Sambil menunggu datangnya pasukan bantuan, maka ada baiknya dia
mengirim peringatan terakhir kepada Diponegoro. Dan Mangkubumi sekarang juga
harus kembali ke Tegalredjo.
“Mangkubumi! Kowe sekarang juga kembali lagi ke Tegalredjo.
Temui Diponegoro dan katakan padanya jika nanti tengah malam dia masih bersikap
seperti ini, maka tidak ada jalan lain kecuali kami akan menangkapnya, dengan
segala cara! Kami sudah benar-benar habis kesabaran! Cepat jalan! Dan jika dia
tidak mau juga kesini, kowe yang harus jadi gantinya. Kowe akan kita tahan
disini!”
Kedua geraham Mangkubumi bergemeretak menahan marah. Tapi dia
tahu, tidak ada gunanya menghadapi orang-orang seperti Smissaert dan Danuredjo.
Keduanya adalah sampah, dan dia benar-benar jijik untuk berlama-lama dengan
keduanya di dalam satu ruangan. Sebab itu dia segera berangkat kembali ke
Tegalredjo bersama kudanya. Tekadnya sudah bulat, dia akan bergabung secara terang-terangan
dengan pasukannya Diponegoro. Sebelum memacu kudanya, diam-diam dia segera
memanggil Suryo Widhuro, seorang prajurit jaga kraton yang bersimpati kepada
perjuangan Pangeran Diponegoro. Di bawah pohon beringin yang lebat, sambil
berbisik Pangeran Mangkubumi memberikan pesan kepada Suryo.
“Kisanak, inilah terakhir kali aku menginjak kraton sebagai
seorang sahabat. Sore ini aku akan bergabung dengan Pangeran Diponegoro di
Tegalredjo dan tidak akan pernah kembali lagi ke tempat ini sebagai kawan. Kisanak
dan prajurit yang lain, para sahabat kita, tetaplah disini. Bertugaslah seperti
biasa. Sewaktu-waktu kami akan memerlukan keberadaan Kisanak dan lainnya yang
ada di sini…”
Wajah Suryo Widhuro terlihat tegang. Dia berkali-kali
membungkukkan badannya kepada Pangeran Mangkubumi. Namun Mangkubumi bukanlah
seorang bangsawan yang gila hormat. Dengan tangan kanannya dia memegang pundah
prajurit itu dan menganggukkan kepala sambil tersenyum.
“Suryo, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya
pamit…”
“Wa’alaikumusalam, Kanjeng Pangeran… Saya akan setia dan siap
selalu!”
Mangkubumi segera menggebrak kudanya. Dalam sekejap, kuda hitam
coklat itu meringkik dan kemudian berlari kencang meninggalkan kraton. Sikap
Mangkubumi sudah bulat. Sore ini dia akan bergabung dengan barisan Diponegoro.
Namun walau bagaimana pun, kedua matanya berkaca-kaca. Hatinya haru harus
meninggalkan kraton untuk selama-lamanya dengan cara seperti ini.
Perjuangan menegakkan kebenaran memang selalu mensyaratkan
pengorbanan. Sebab itu, jalan ini adalah jalan sepi. Jalan yang hanya kuat
dilalui oleh orang-orang yang memiliki kemauan baja dan prinsip hidup yang tak
tergoyahkan. [] (Bersambung)
Bab 17
MANGKUBUMI BARU SAJA PERGI MENINGGALKAN kraton untuk kembali ke
Tegalredjo. Residen Smissaert segera memerintahkan Patih Danuredjo agar
menghubungi setiap pasukan lokal yang ada yang telah menyatakan siap untuk
bergabung memperkuat pemerintah.
“Panggil seluruh pasukan bantuan yang sudah siap bergabung
dengan kita secepatnya. Terlebih-lebih Legiun Mangkunegaran. Mereka akan tiba
terlebih dahulu, bersama dengan pasukan reguler dari Surakarta. Ke sini itu
Cuma mereka hanya perlu tiga jam dari Surakarta. Setelah itu baru yang dari
Semarang dan lainnya akan datang ke sini.”
“Betul, Tuan. Saya akan segera kontak agar Legiun Mangkunegaran
segera mengirimkan pasukannya ke sini.”
“Diponegoro pasti akan tetap
tidak mau kesini… Orang koeppeg[1] itu
memang harus ditangkap secepatnya.”
“Betul, saya setuju, Tuan. Termasuk orang-orang yang dekat
dengannya…”
“Apakah Mangkubumi bisa dipercaya, Patih?”
Danuredjo menggelengkan kepala, “Diponegoro hormat padanya, dan
dia pun sangat menghormati Diponegoro. Keduanya terikat satu tali keluarga.
Saya yakin, Tuan Residen, jika Mangkubumi itu diam-diam juga bersimpati
padanya. Demikian pula dengan sejumlah pangeran yang lain, seperti Joyokusumah
itu…”
“Jika demikian, kalau dia pulang nanti, kita tangkap saja, atau
jangan izinkan dia untuk keluar kraton lagi…”
“Ya, ya, sangat bagus itu, Tuan.”
“Jika tidak ada aral melintang, satu jam lagi Mangkubumi akan
tiba kembali di sini. Kita akan dengar apa maunya Diponegoro itu. Apakah dia
memang berani melawan kita atau menyerah…”
“Saya tidak yakin kalau dia mau menyerah, Tuan. Tapi kita lihat
saja nanti…”
Tiba-tiba pintu ruangan diketuk orang.
“Ya, masuk,” ujar Danuredjo.
Seorang anak buah Ki Sentono masuk. Setelah memberi salam dan
penghormatan, dia memberikan informasi jika Ki Sentono telah memanggil pasukan
Mangkunegaran agar secepatnya ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
“Mereka sudah dalam perjalanan
ke sini, terdiri dari 10 orang kavaleri Eropa, 100 infanteri, dan limapuluhdragonder[2].
Selain itu, pasukan reguler dari Surakarta, Magelang, dan Semarang juga sedang
bersiap untuk berangkat ke Yogya…”
Danuredjo terdiam. Sepertinya dia baru saja berbicara hal itu
pada Smissaert di ruangan ini dan belum didengar siapa pun. Namun mengapa Ki
Sentono sudah mengetahui hal ini dan bergerak cepat? Danuredjo sungguh-sungguh
heran sekaligus takjub.
Darimana Ki Sentono bisa
mengetahui apa yang diinginkannya?
“Bagus, bagus. Tolong sampaikan pesanku untuk Residen Magelang
bahwa kita juga memerlukan dana yang besar untuk menghadapi Diponegoro…”
Senyum Danuredjo bertambah
lebar mendengar Smissaert meminta dukungan dana. Kepalanya mengangguk-angguk. Ya, semuanya memang butuh dana…
Aku juga sangat memerlukannya…
“Patih, kowe siapkan
pasukanmu di sini agar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Jangan
tersenyum-senyum saja seperti itu. Aku muak melihatmu seperti itu!”
Senyum Danuredjo mendadak hilang dari wajahnya, berganti dengan
keseriusan yang dibuat-buat bagaikan badut.
“Ya, Tuan Residen. Saya akan siapkan pasukan disini.”
“Dan untukmu, prajurit. Terima kasih atas laporanmu dan
kembalilah ke posmu.”
“Satu lagi Tuan-Tuan, patok-patok jalan raya yang ada di
Tegalredjo telah dicabut oleh pengikutnya Diponegoro. Mereka mengganti
patok-patok jalan itu dengan ratusan tombak. Para pekerjanya pun diusir…”
Smissaert dan Danuredjo
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ya, mereka agaknya memang mau
berperang…
“terima kasih, prajurit. Kembalilah ke posmu.”
“Siap, Tuan Residen. Siap, Kanjeng Patih Dalem. Laksanakan!”
Prajurit itu pun segera keluar
dari ruangan. Smissaert melihat Patih Danuredjo yang masih saja duduk dengan
pandangan mata yang merendahkan. Dengan penuh kegeraman, orang Belanda itu
berteriak kepada Danuredjo, “Patih, kowe mau apa
lagi di sini? Cepat siapkan pasukanmu sekarang juga! Panggil senopati-senopati
terbaikmu sekarang!”
Mendengar Smissaert berteriak seperti itu, Danuredjo segera
lompat dari kursinya.
“Siap! Siap, Tuan Residen. Saya akan segera panggil para
senopati untuk menyiapkan pasukannya!” jawabnya sambil berkali-kali
membungkukkan badan ke arah Smissaert yang tengah duduk di belakang meja dengan
kedua kaki dijulurkan tepat ke depan muka Danuredjo. []
Bab 18
ISLAM AGAMA YANG CINTA DAMAI. Namun jika ada musuh yang
memerangi agama tauhid ini, maka Islam mewajibkan umat-Nya untuk balas
memerangi. Walau demikian, balasan yang dilakukan harus tetap mengindahkan
kaidah-kaidah berperang di dalam Islam, yakni tidak boleh melakukan pengrusakan
yang tidak perlu, baik terhadap alam dan juga terhadap lingkungan, tidak boleh
membunuh perempuan dan anak-anak yang bukan kombatan[3], tidak boleh membunuh
dengan sadis, dan lain sebagainya. Berkali-kali hal itu ditekankan Pangeran
Diponegoro kepada pasukannya.
Siang menjelang sore, Mangkubumi telah tiba kembali di Puri
Tegalredjo. Kepada Pangeran Diponegoro dan para sesepuh yang lain, Pangeran
Mangkubumi menyampaikan pesan dari Residen Yogya Smissaert. Setelah itu dia
menyatakan diri bergabung sepenuhnya dengan barisan Diponegoro dan tidak ingin
kembali lagi ke kraton.
Dengan penuh haru Diponegoro
memeluk pamannya ini. “Pamanda, syukur alhamdulillah paman mau bergabung dengan kami.
Mudah-mudahan Allah subhana wa ta’ala memberikan kekuatan dan
ketabahan pada paman di dalam perjuangan ini. Ahlan wa sahlan,
Paman…”
“Amien ya Rabb.
Terima kasih, Pangeran. Semoga perjuangan kita menghadapi kafir Belanda dan
antek-anteknya bisa dimudahkan Allah subhana wa ta’ala.
Semoga kafir Belanda dapat segera terusir dari Tanah Jawa ini…”
“Amien ra Rabb al ‘amien…“
Pangeran Diponegoro kemudian mengajak Mangkubumi, Pangeran Bei,
Ustadz Taftayani, dan para sesepuh lainnya untuk menggelar musyawarah kecil di
dalam masjid. Rombongan jubah putih itu pun beranjak dari pendopo depan Puri
Tegalredjo menuju masjid yang berdekatan letaknya. Hanya Ki Singalodra yang
tetap berpakaian hitam-hitam dengan ikat kepala yang juga hitam. (Bersambung)
[1] Bahasa Belanda: Keras Kepala.
[2] Dragonder adalah istilah untuk kavaleri ringan atau
infanteri berkuda.
[3] Kombatan adalah pasukan tempur. ‘Bukan Kombatan’ artinya
adalah perempuan dan anak-anak yang bukan bagian dari pasukan tempur.
Di dalam masjid, Diponegoro
membuka musyawarah dengan memaparkan perkembangan paling baru dari pergerakan
musuh.
“Dari lapangan, saya mendapatkan informasi jika Residen Yogya
dan Patih Danuredjo sedang menyiapkan pasukan yang dipusatkan di kraton. Mereka
juga memanggil sejumlah pasukan bantuan, baik dari pasukan pribumi seperti
Legiun Mangkunegaran, suku Alifuru, Tidore, Ternate, Buton, maupun dari pasukan
reguler kafir Belanda dari Semarang, Magelang, dan Surakarta…”
Mangkubumi menarik nafas
dalam-dalam. “Huffhhh…. ternyata banyak pula saudara-saudara seiman kita, orang-orang
Islam, yang mau mempertaruhkan nyawanya demi membela kafir Belanda. Mereka ini
nyata-nyata telah menukar agama Allah dengan dunia, dengan harga yang amat
murah…!”
“Ya, paman. Saya juga sedih
dengan kenyataan ini. Tapi itulah faktanya. Banyak orang yang mengaku Islam,
namun ternyata loyalitasnya bukan kepada Allah dan Rasul-Nya, melainkan kepada thagut. Mereka
mengerjakan sholat, berpuasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan naik haji
berkali-kali, namun semua itu ternyata belum cukup, mereka belum memahami Islam
secara kafaah-syumuliyah,
sehingga mereka sesungguhnya tetap dalam kejahilannya…,” jawab Diponegoro.
“Dan hal ini akan terus terjadi sepanjang sejarah umat manusia…”
“Benar, paman. Musuh kita bukan
hanya kaum kafir, kaum musyrik, tetapi juga orang-orang munafik dan orang-orang
jahil. Orang-orang yang mengaku Islam namun membela thagut, atau
hidup dengan melayani kepentingan thagut,
sesungguhnya mereka kaum munafik dan jahil. Kita harus memerangi mereka juga
jika dakwah kita terhadap mereka tidak mereka perdulikan…”
Ustadz Taftayani menyela, “Kanjeng Pangeran, bagaimana dengan
kesiapan pasukan kita? Yang di sekitar sini maupun yang ada di luar
Tegalredjo?”
Pangeran Diponegoro mengangguk
kemudian berkata, “Insya Allah, Ustadz. Allah akan selalu bersama kita.
Sampai dengan sekarang, sudah banyak ulama, pangeran, kepala desa, dan beberapa
sesepuh masyarakat yang menyatakan siap menolong agama Allah ini dengan
bergabung ke dalam pasukan kita.”
“Apakah jumlah pasukan kita sudah setara dengan kekuatan musuh,
Kanjeng Pangeran?” tanya Senopati Mardhiko dari Magelang.
Pangeran Diponegoro tersenyum
bijak. Dia kemudian menjawab, “Satu orang beriman yang berjihad di jalan Allah,
akan bisa menghancurkan sepuluh prajurit musuh. Sepuluh orang beriman yang
berjihad di jalan Allah, akan mampu menghancurkan seratus musuh. Mengapa kita
takut jika jumlah kita lebih sedikit dibandingkan jumlah pasukan musuh Allah
itu? Lupakah Kisanak dengan ibrah dari Perang Badr?”
“Astaghfirullah al adziiim...,”
seru Senopati Mardhiko. “Maafkan saya Kanjeng Pangeran…”
Diponegoro menggelengkan
kepalanya, “Tidak mengapa Senopati. Khilaf dan lupa adalah sifat kita semua
sebagai manusia biasa. Apakah Kisanak masih
ingat ibrah Perang Badar?”
Mardhiko mengangguk, “Ya, saya masih ingat.”
“Coba Kisanak paparkan
secara singkat saja.”
Senopati Mardhiko mulai
bercerita, “Perang Badar adalah peperangan pertama Rasulullah menghadapi
Musyrikin Quraisy. Kala itu jumlah pasukan Islam hanya tigaratus lebih sedikit,
harus berhadapan dengan pasukan kaum Musyrikin Quraisy yang jumlahnya jauh lebih
banyak, sekitar seribuan lebih. Pasukan Muslim juga kalah jauh dalam
kelengkapan kuda, onta, dan persenjataan. Namun Allah telah berjanji
sebagaimana di dalam surat Al-Anfal ayat 65 yang berbunyi, “…Jika ada duapuluh orang yang
sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh,
dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan
seribu orang kafir…” Dan Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya. Dalam perang
Badr, pasukan kaum Muslimin dapat menghancurkan pasukan musyrikin Quraisy yang
jumlah dan kelengkapannya lebih banyak…”
“Nah, sejarah sudah memperlihatkan kepada kita semua,” ujar
Pangeran Diponegoro. “…jika kita menolong agama Allah, maka Allah pun akan
menolong kita. Yakinlah, kita pasti menang.”
Semua yang ada di situ
mengangguk-anggukkan kepalanya. Pangeran Diponegoro melanjutkan, “Kafir Belanda
dan antek-anteknya itu tidak punya kekuatan. Yang Maha Kuat hanyalah Allah subhana wa ta’ala. Dan
jangan takut, lebih dari setengah pangeran, lebih dari setengah demang, dan
sebagian besar rakyat ada di belakang kita. Dari informasi yang disampaikan
para telik
sandi kita yang disebar di mana-mana, mereka semua sudah
mempersenjatai diri dan tinggal menunggu perintah. Dengan pasukan yang sangat
kuat dan bantuan serta ridho Allah, insya Allah, kita
akan meraih kemenangan!”
“Allahu Akbar!”
teriak Ki Singalodra. Yang lainnya pun meneriakkan takbir tersebut hingga
memenuhi seluruh bagian masjid tersebut.
“Dan saudara-saudaraku semua, para ulama, para pangeran, para
demang, dan senopati, kita sudah menempatkan pasukan-pasukan kita di semua pos
sekitar Tegalredjo ini. Kita sekarang hanya menunggu mereka, karena kita tidak
ingin dianggap yang memulai perang…”
Pangeran Diponegoro kemudian membaca kembali ayat suci
Al-Qur’an, kali ini surat Al-Hajj ayat 39 dan 40,
“Telah diizinkan (berperang)
bagi orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan
Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu)
orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang
benar, kecuali Karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. dan
sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang
lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah
ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama
Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa’“
“Kalian semua, nanti malam beristirahatlah dengan cukup.
Berjagalah bergantian. Sebab aku punya firasat jika besok akan menjadi hari
yang melelahkan bagi kita semua. Bersiaga dan bersiaplah…”
“Siap, Kanjeng Pangeran!” ujar para senopati.
“Nah, sekarang kembalilah ke pos kalian masing-masing. Jika
sesuatu yang paling buruk menimpa Puri Tegalredjo, maka semuanya sudah tahu
kemana aku dan pasukan akan pergi.”
Para senopati dan sesepuh yang lain pun meninggalkan masjid.
Mereka kembali ke pasukannya masing-masing. Beberapa di antaranya menyebar ke
seluruh wilayah sekitar Tegalredjo. Satu jam lagi waktu maghrib akan tiba.
Pangeran Diponegoro segera mengambil wudhu untuk kembali berzikir menjelang
saat pergantian siang ke malam di dalam masjid. []
Bab 19
NAFAS PANGERAN DIPONEGORO BEGITU TENANG dan teratur. Bibirnya
yang selalu basah oleh zikir bergerak-gerak kecil. Kedua matanya dipejamkan.
Tangan kanannya begitu khusyuk memilin butiran biji tasbih yang terbuat dari
kayu asam jawa yang begitu langka. Putera Sultan Hamengku Buwono III ini kuat
duduk bersila di dalam masjidnya semalaman penuh, diseling sholat tahajud yang
panjang. Perutnya juga jarang diisi makanan dan minuman. Sejak remaja di bawah
bimbingan Ratu Ageng, permaisuri dari Hamengku Buwono I, Diponegoro telah
terbiasa melakukan puasa sunnah Daud, selang-seling sehari puasa sehari tidak.
Di sisi lain, sejak remaja
Diponegoro juga mendapatkan gemblengan yang
begitu keras dan penuh disiplin dari Ratu Ageng yang notabene mantan
panglima tertinggi pasukan khusus pengawal raja Langen Kesuma. Selain Ratu
Ageng, sejumlah pendekar dengan ilmu beladiri juga didatangkan untuk membekali
cicit kesayangannya ini agar bisa menjadi manusia yang shalih, cerdas, serta
kuat secara fisik dan mental.
Sehabis menunaikan sholat Isya berjamaah, Pangeran Diponegoro
terus saja berzikir di dalam masjid ditemani Ustadz Taftayani. Ki Singalodra
dengan setia terus berjaga di shaft paling belakang masjid. Dia duduk bersandar
di dinding. Sesepuh yang lain sudah kembali ke biliknya masing-masing. Sejumlah
pasukan dengan senjata lengkap tampak terus bersiaga di depan gerbang dan di
batas desa dalam kelompok-kelompok kecil. Tak hanya pasukan yang sudah terlatih,
para lelaki Desa Tegalredjo juga tampak melakukan penjagaan secara bergantian.
Malam itu menjadi malam yang menegangkan. Udara malam hari yang
biasanya sejuk bahkan dingin, berubah menjadi sangat gerah. Angin seolah tidak
mau bertiup. Tanda-tanda alam seperti ini sudah dimaklumi banyak orang.
Peristiwa besar pasti akan terjadi esok hari. Entah apa, hanya Allah Yang Maha
Tahu. (Bersambung)
Di dalam bilik utama di dalam Puri Tegalredjo, isteri Pangeran
Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih-puteri dari Raden Tumenggung Sumoprawiro,
Bupati Jipang Kepadhangan-tengah menidurkan anak-anaknya. Lagu Lir-Ilir mengalun
merdu perlahan dari bibirnya yang tipis. Dengan penuh kasih sayang, Raden Ayu
Retnaningsih mengusapkan tangannya dengan lembut ke kening anak-anaknya yang
baru saja terlelap. Disibakkannya rambut di kening anak-anaknya yang sudah agak
panjang menutupi keningnya. Perempuan itu memandangi lekat-lekat wajah mereka.
Ada rasa damai yang sangat indah di dalam relung garbanya, di saat dia
memandangi wajah-wajah mungil tanpa dosa yang tengah tertidur pulas.
Namun penglihatannya tiba-tiba buram. Kedua matanya basah.
Bulir-bulir air mata yang begitu bening pun luruh, merambat turun dengan pelan
di kedua pipinya yang halus. Perempuan shalihah itu galau kala teringat pesan
suaminya, Pangeran Diponegoro, tadi sore, jika dirinya dan anak-anak mereka
harus selalu siap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Belanda dan Patih
Danuredjo IV sedang mengincar diri suaminya, dan bukan tidak mungkin Belanda
akan mempergunakan cara apa saja untuk menangkap mereka, bahkan mungkin
membunuhnya.
Sekali lagi diusapnya kening
anak-anaknya. Kemudian diciumnya dengan lembut. Setelah itu dia meraih sebuah
mushaf yang selalu tergeletak di ujung tempat tidurnya. Dalam keadaan masih
berwudhu, perempuan itu kemudian membaca ayat demi ayat Allah dengan suara yang
begitu lirih. Nyaris tak terdengar. Sepanjang malam, Raden Ayu Retnaningsih
bermunajat kepada Allah subhana wa ta’ala agar diberikan ampunan,
ketabahan, sekaligus kekuatan untuk menghadapi hari-hari esok yang hanya Allah
yang Maha Tahu.
Secara pribadi, Retnaningsih sungguh tidak pernah takut jika
harus berhadapan melawan Belanda. Perempuan yang jago memanah dan memimpin satu
pasukan khusus perempuan yang menjadi bagian dari Laskar Diponegoro ini hanya
iba dengan nasib anak-anaknya kelak yang harus ikut berperang. Walau tangguh
dan tegar, Retnaningsih bagaimana pun seperti seorang ibu kebanyakan, yang
ingin anak-anaknya tumbuh besar di dalam masa yang damai dan tenteram. Namun
kenyataan berkata lain. Agaknya Allah memang memiliki rencana lain terkait
semua yang harus dihadapinya.
Di luar bangunan utama Puri Tegalredjo, Pangeran Diponegoro
didampingi Ustadz Taftayani, Pangeran Bei, Mangkubumi, dan Ki Singalodra,
dengan penjagaan dari satu regu pasukan kawal, masih berada di dalam masjidnya.
Di luar tembok puri, terdapat penjagaan satu lapis lagi di keempat penjuru mata
angin. Demikian pula dengan lingkar satu, lingkar dua, dan tiga. Semua prajurit
sudah siap, menanti dengan kesiagaan penuh apa yang akan terjadi.
Di tanah makam leluhur, tombak-tombak yang sengaja ditancapkan
untuk menggantikan patok-patok proyek jalan, masih berdiri dengan gagahnya. Ini
adalah pesan yang sangat nyata kepada kafir Belanda, jika pribumi tidak akan
pernah takut untuk berjuang menegakkan keadilan, bahkan jika harus di bayar
dengan nyawa sekali pun. []
Bab 20
UFUK PAGI MULAI MEREKAH MERAH. Lampu-lampu sentir dan obor di
beberapa bagian Puri Tegalredjo masih menyala terang. Sebagian lagi sudah
padam. Kompleks Puri Tegalredjo yang memiliki luas keseluruhan sekira dua
hektar are ini tampak sepi. Namun sesungguhnya tidak demikian. Di tiap sudut
bangunan, bawah pohon beringin, dan di tempat-tempat tersembunyi, selalu saja
ada prajurit yang berjaga. Mereka memang tidak menampakkan penjagaan secara
menyolok, sesuai dengan perintah Senopati Joyonenggolo yang bertanggungjawab
terhadap keamanan seluruh area dalam puri tersebut.
Puri Tegalredjo merupakan kompleks bangunan yang berbeda dengan
bangunan-bangunan lain di desa ini, bahkan jika dibandingkan dengan bangunan
kediaman para pangeran yang lain. Kebanyakan bangunan masih menggunakan dinding
bilik yang dilabur kapur putih dengan tulang-tulang bambu atau kayu panjang
dengan atap sirap atau genteng. Berbeda dengan Puri tempat kediaman Ratu Ageng
dan Pangeran Diponegoro yang sudah dibangun secara permanen, dengan batu bata dan
semen. Bahkan sebuah tembok setebal setengah sampai hampir satu meter dibangun
mengelilingi kompleks puri ini dengan bagian samping dan belakang lebih tinggi
hingga mencapai tiga meter[1].
Sebagaimana bangunan bangsawan kraton lainnya, kompleks ini juga
menghadap ke arah selatan di mana Laut Kidul menggelora. Hanya bangunan kraton
yang menghadap ke arah ini, sedangkan rumah rakyat biasa akan berdiri dengan
menghadap bangunan-bangunan kraton.
Gerbang besar Puri Tegalredjo diapit oleh dua pintu kecil yang
selalu terbuka. Di belakang gerbang, membentang sebuah alun-alun kecil dengan
luas lebih kurang empat kali luas lapangan basket. Alun-alun itu dikelilingi
sawo kecik yang berjajar rapi, diseling pohon beringin di sana-sini. Sebuah
pendopo besar dengan atap joglo berdiri di sisi utara alun-alun yang juga
menghadap ke selatan. Di bagian belakang pendopo berdiri bangunan utama puri
sebagai tempat tinggal Ratu Ageng, dan juga Diponegoro serta keluarganya.
Bangunan utama ini dikelilingi bangunan-bangunan lain, seperti masjid di
sebelah barat, istal kuda, gudang beras dan hasil bumi lainnya, kamar-kamar
tempat menginap para tamu, juga rumah para pekerja puri ini.
Di Tegalredjo, tanah milik Pangeran Diponegoro cukup luas. Di
sebelah timur dibatasi Kali Winongo yang cukup dalam dan lebar.
Sejak Pangeran Diponegoro diboyong Ratu Ageng keluar dari kraton
dan menetap di Tegalredjo, wilayah ini berkembang dengan pesat. Jumlah penduduk
terus bertambah. Rumah-rumah baru terus bermunculan. Dan rumah-rumah lama
banyak yang diubah bentuknya. Dengan sendirinya jalur jalan raya mulai membaik
dan lebih panjang.
Pangeran Diponegoro sendirilah yang mengatur pohon-pohon, jalan,
dan kolam di daerah ini. Selain tumbuhan, putera Hamengku Buwono III ini juga
gemar memelihara sejumlah hewan piaraan seperti burung perkutut dan juga kuda.
Bisa jadi, dalam skala lebih kecil, Diponegoro tampaknya mewarisi bakat kakek
buyutnya, yakni Sultan Hamengku Buwono I, yang merupakan seorang arsitek yang
hebat, yang merencanakan sendiri tata ruang serta rancang bangun untuk Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat dan seluruh bangunan pendukungnya, termasuk Taman
Sari.[2]
Tak jauh dari kompleks puri,
masih di dalam areal tanah milik Diponegoro yang berada di Selohardjo, di tepi
Kali Winongo, Diponegoro juga membangun sebuah panepen, yaitu
tempat untuk menyendiri atau bersemadi. Gedung ini sangat indah yang dilengkapi
dengan serambi depan, tempat menerima tamu, dan juga surau, kolam, dan taman.
Di depan gedung ada sebuah batu datar[3] yang dinaungi pohon Kemuning yang
begitu rimbun daun-daunnya. Di tempat inilah, Pangeran Diponegoro biasa duduk
bertafakur di malam hari. Gedung tersebut dikelilingi kolam dan di tengah kolam
dibuat semacam “pulau” kecil yang ditumbuhi sebatang pohon beringin putih. Di
kolam besar yang airnya jernih itu banyak terdapat ikan dari berbagai jenis.
[4] (Bersambung)
[1] Disebut juga sebagai Pager Bumi.
[2] Gambaran tentang Puri Tegalrejo ini bisa dibaca dari
kesaksian Pendeta H.A. Brumund yang mengunjungi tempat tersebut selang beberapa
hari setelah dibakar dan dihancurkan oleh Belanda pada bulan Juli 1825. Juga
dari lukisan karya Ratmojo di tahun 1973 yang masih terpasang dengan rapi di
salah satu ruangan Puri Tegalredjo yang kini menjadi Museum Monumen Pangeran
Diponegoro Sasana Wiratama, Jogyakarta.
[3] Sela gilang.
[4] Babad Diponegoro VII: b.40-42.
Pagi ini, usai melaksanakan
sholat subuh berjamaah yang seperti biasa diikuti ceramah lima menit, Pangeran
Diponegoro keluar dari masjid menuju bangunan utama Puri Tegalredjo. Ustadz
Taftayani yang mendampinginya sejak tadi malam masih berdiam di dalam masjid.
Sedangkan Ki Singalodra tetap mengikuti Diponegoro, namun berhenti sampai di
teras depan bangunan utama.
Dari arah pendopo, Pangeran Mangkubumi berjalan mendekati Ki
Singalodra yang tengah berdiri di depan bangunan utama. Setelah memberi salam,
Mangkubumi menanyakan perihal pangeran kepada Ki Singalodra.
“Bagaimana keadaan Pangeran, Kisanak?”
“Alhamdulillah,
baik…”
“Residen gila itu tadi malam mengutus salah seorang anak buahnya
menemuiku. Dia mengancam, jika Pangeran Diponegoro tidak juga menemuinya sampai
maghrib, maka Belanda akan melakukan segala cara untuk menangkapnya…”
“Inggih,
Kanjeng Pangeran…”
Tiba-tiba pintu puri terbuka. Seorang laki-laki dengan jubah
putih dan surban hijau pupus keluar dan menyapa Mangkubumi dengan salam doa
keselamatan.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh, Paman Mangkubumi…”
Mangkubumi menjawab salam Diponegoro kemudian memberitahukan
soal utusan Residen Smissaert yang menemuinya tadi malam di dekat Puri
Tegalredjo.
“Bagaimana sebaiknya, Pangeran?”
Untuk sesaat Diponegoro terdiam. Dia tahu jika kali ini Residen
Smissaert rupanya benar-benar marah dan tidak mau menunggu lebih lama lagi.
Sejak beberapa hari lalu dan puncaknya tadi malam, perasaannya mengatakan jika
sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang sungguh-sungguh berbeda namun Diponegoro
tidak tahu apa yang akan terjadi.
“Paman…,” jawabnya. “…Saya
tidak tahu apa yang akan terjadi hari ini atau besok. Hanya Allah yang Maha
Mengetahui Segala Sesuatunya. Kita sebagai hamba-Nya hanya diperintahkan untuk
bersiap jika terjadi sesuatu. Sebab itu, kita telah mempersiapkan semuanya. Dan
mudah-mudahan, insya Allah, semua yang terjadi akan menjadi kebaikan
bagi kita semua…”
Pangeran Mangkubumi menganggukkan kepala, “Itu benar, Pangeran.
Namun apa yang akan kita kerjakan untuk menjawab ultimatum residen itu?”
“Nanti akan saya tulis surat kembali. Surat terakhir kita kepada
mereka. Tentang peneguhan sikap kita. Selain itu, pagi ini juga tolong siapkan
semua pasukan kita di sekitar Tegalredjo ini, Paman.”
“Baik, Pangeran.”
“Dan kau Ki Singalodra…”
Ki Singalodra yang sedari tadi
terdiam mendengarkan percakapan kedua bangsawan di dekatnya itu dengan penuh
hormat menjawab, “Inggih, Kanjeng Pangeran…”
“Kau hubungi lagi Senopati Joyonenggolo dan perintahkan dia
untuk memperketat penjagaan. Dan satu lagi, tolong supaya Joyonenggolo
memeriksa jalur penyelamatan ke Gua Selarong sekali lagi. Kita tidak tahu
bagaimana nantinya, namun tidak ada salahnya untuk mempersiapkan segala
sesuatunya…”
“Inggih,
Kanjeng Pangeran. Laksanakan…”
Setelah memberi salam, Ki Singalodra bergegas berjalan menuju
kuda hitamnya. Dengan sekali lompat, dia sudah berada di atas pelana dan memacu
kudanya menuju pos utama puri tempat Senopati Joyonenggolo berada. []
Bab 21
DANUREDJO TAHU JIKA WAKIL RESIDEN Chevaliers telah menerima
surat langsung dari Residen Surakarta Mac Gillavry yang melaporkan tentang
perkembangan kekuatan pasukan Diponegoro yang semakin hari semakin besar. Bukan
hanya dalam soal jumlah pangeran, ulama, dan sesepuh desa yang setiap hari
terus saja bertambah mendukungnya, namun juga aliran dana yang diperoleh
Diponegoro yang sampai saat ini masih saja ditelusuri oleh Belanda. Pemerintah
masih kesulitan untuk mencari sumber pendanaan Diponegoro yang diduga kuat
sangat besar disebabkan dia bisa membeli senjata api dan tajam dalam jumlah
banyak, memberi makan pasukan tiap hari yang cukup banyak, dan juga
melaksanakan pelatihan demi pelatihan tempur bagi laskarnya di berbagai tempat.
Danuredjo sendiri tidak bisa memastikan hal itu. Namun dia yakin
jika sejumlah pangeran, ulama, dan sesepuh yang berdiri di belakang
Diponegoro-lah yang telah menyumbangkan uangnya untuk memberontak. Itu sudah
dikatakannya kepada Smissaert, namun residen tersebut malah menugaskannya untuk
mencari bukti yang kuat agar Belanda memiliki alasan untuk menangkapnya.
Seorang Danuredjo sesungguhnya malas mengurusi hal seperti itu,
namun dia sudah keburu melaporkan kepada Smissaert sehingga mau tidak mau dia
akhirnya berjanji untuk melakukan itu. Dan bukan seorang Danuredjo jika dia
tidak bisa memutar otak dengan licin. Setelah ditugasi Smissaert, dia malah
memanggil Ki Sentono dan menyerahkan tugas tersebut kepada orangtua itu.
Siang itu di pendopo alun-alun Lor[1] Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat, yang berbatasan sepelemparan meriam dari Benteng
Vredeburg di mana Residen Yogyakarta A. H. Smissaert tinggal, Danuredjo tengah
mengumpulkan semua senopati utama kraton dan juga beberapa pasukan bantuan. Di
depan mereka, Patih Dalem tersebut menyatakan bahwa Pangeran Diponegoro dan
pasukannya yang sekarang berkumpul di sekitar Tegalredjo tengah bersiap untuk
melakukan pemberontakan dengan menyerang kraton dan menghabiskan seluruh
pejabat kraton beserta keluarganya.
“Pasukan Belanda akan membantu
kita. Akan melindungi kraton kita. Walau mereka berbeda agama dengan kita,
berbeda dengan agama Islam sebagai falsafah kraton ini, tetapi mereka akan
berjuang sampai titik darah penghabisan untuk mendukung kita. Dengan izin Allah
kita akan menang. Allahu Akbar!” ujar Danuredjo berapi-api. Baginya,
semua cara harus ditempuh untuk bisa menyatukan kekuatan di belakangnya,
termasuk menunggangi Islam demi kepentingan pribadinya.
Seluruh senopati yang ada di hadapannya mengangguk-anggukkan
kepala. Walau tahu jika yang dikatakan Patih Dalem tersebut banyak dustanya,
namun para senopati tersebut tidak mau mendebatnya. Mereka semua tahu, walau
wajah Danuredjo selalu memasang senyum, namun dia sesungguhnya sangat tidak
suka didebat, bahkan sekadar untuk dipertanyakan semua tindak-tanduknya. Dengan
tersenyum dia bisa memerintahkan pembunuhan yang paling keji sekali pun, atau
paling ringan adalah memecat mereka dan mengusir mereka beserta anak isterinya
ke hutan. Siapa pun yang berada dekat dengan Danuredjo tidak ingin mengambil
resiko itu. Di depan orang ini, lebih baik diam daripada berbicara.
Dengan penuh kutipan ayat-ayat suci al-Qur’an tentang Islam yang
penuh rahmat bagi semesta, derajat manusia yang sama, Allah Maha Pengasih dan
Penyayang, dan sebagainya, Patih Danuredjo berpidato panjang lebar menekankan
perlunya pihak kraton menjalin kerjasama yang erat dengan pemerintah Belanda.
“Islam tidak melarang kita bermuamalah[2] dengan orang-orang di
luar Islam. Rasulullah dahulu juga melakukan hubungan dagang dengan orang
Yahudi dan bukankah Rasulullah itu sebaik-baiknya teladan bagi umat manusia?
Sebab itu, bekerjasama dengan Belanda itu diperbolehkan di dalam Islam.
Bukankah begitu Kiai Suranudin?”
Lelaki tua yang mengenakan jubah panjang berwarna putih dan
tangan kanannya yang selalu memilin sebuah tasbih kecil dari kayu cendana,
menganggukkan kepalanya, “Ya. Memang benar Kanjeng Patih…”
Danuredjo tersenyum puas, “Dan saya ingin bertanya kepada kalian
semua. Apakah kita ini semuanya telah beragama Islam?”
“Inggih,
Kanjeng Patih…,” sahut semuanya serempak.
“Bukankah Kanjeng Sri Susuhunan Sultan Hamengku Buwono IV juga
seorang Muslim?”
“Inggih,
Kanjeng Patih…”
“Nah, kita ini adalah kerajaan
Islam. Kita adalah pemerintahan Islam. Semua yang ada di kraton ini adalah
orang-orang Islam. Kanjeng Sultan adalah Imam kita semua. Jika Pangeran
Diponegoro hendak melakukan pemberontakan kepada kraton, terhadap Sultan,
berarti dia telah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Islam,
memberontak terhadap Imam. Bukankah itu yang di dalam fiqh Islam disebut
sebagai Bughot? Bagaimana Kiai Suranudin?”
Kiai Suranudin membelai-belai
janggut putihnya yang sudah hampir menyentuh dadanya, “Ya, ya, itu benar. Di
dalam fiqh, kaum bughot adalah kaum atau kelompok bersenjata yang menentang
penguasa kaum Muslimin, menentang Sang Imam. Sepengetahuan saya, syarat untuk
bisa suatu kelompok dianggap sebagai bughot adalah: Pertama,
mereka memiliki pasukan bersenjata yang akan digunakan untuk melawan Imamnya. Kedua, mereka
ini memiliki pimpinan yang ditaatinya. Ketiga,
mereka berbuat demikian disebabkan karena timbulnya perbedaan pendapat dengan
Imamnya mengenai politik pemerintahannya, sehingga mereka beranggapan bahwa
memberontak adalah suatu keharusan…”
Belum selesai Kiai Suranudin
berbicara, Danuredjo langsung menyela, “Jika demikian, Pangeran Diponegoro
beserta pengikutnya jelas-jelas memenuhi semua persyaratan disebut sebagai kaum bughot.
Bukankah demikian Kiai?”
“Ya. Mereka sudah memenuhi ketiga syarat itu,” ujar Kiai
Suranudin. Dia sepertinya tidak punya pilihan lain. Danuredjo memang sangat
lihai memutar lidah dan logika, sehingga dia mau tidak mau akan mengatakan apa
yang sesungguhnya dikehendaki oleh Patih Dalem tersebut. Kiai Suranudin pun
merasa apa yang dikatakannya benar, sudah sesuai dengan kaidah fiqh, namun
entah mengapa hatinya merasa tidak nyaman. (Bersambung)
[1] Bahasa Jawa: Utara.
[2] (Bahasa Arab): Berinteraksi.
Tiba-tiba seorang kurir dari Residen Smissaert datang ke pendopo
alun-alun Lor. Dia langsung menemui Patih Danuredjo dan menyerahkan surat
dari tuannya. Setelah membuka surat itu, Danuredjo langsung mengakhiri
pertemuan dengan para senopati utama kraton dan yang lainnya.
“Sekarang kalian semua persiapkan pasukanmu masing-masing dengan
baik. Dalam waktu dekat kita akan bergerak.”
Itu saja. Kemudian dia melangkahkan kaki masuk ke dalam kraton.
Residen Smissaert telah menunggunya di ruangan kepatihan seperti biasanya. Tak
sampai memakan waktu lima menit, Danuredjo telah membuka pintu ruangan
kantornya. Dia tahu Smissaert sudah berada di dalam. Dan benar saja, Belanda
bermuka bulat dengan mata biru dan rambut tipis seputih kapas di kedua bagian
samping kepalanya sudah berada di atas kursi Danuredjo dengan kedua kaki
diselonjorkan ke atas meja.
“Kowe sudah
siapkan semua senopati yang ada?”
Danuredjo menganggukan kepalanya sambil duduk di depan Residen
Smissaert tanpa memperdulikan jika kedua telapak kaki Belanda yang masih
memakai sepatu itu langsung menghadap ke arah mukanya.
“Sudah. Semuanya sudah siap.”
Smissaert tertawa. Danuredjo juga. Belanda itu kemudian
menurunkan kakinya dan berdiri kemudian duduk di pinggir meja setelah menggeser
papan nama Patih Dalem Danuredjo IV dari tempatnya semula.
“Patih… Gillavry dan Von Jett telah mengkonfirmasi semua
permintaan kita. Pasukan mereka telah berangkat dari Surakarta, dan akan
menyusul kemudian yang dari Magelang serta Semarang. Mereka akan bergabung
dengan Legiun Mangkunegaran yang sebentar lagi akan tiba. Kita sudah kuat
kembali. Sore ini kita akan tangkap pemberontak itu!”
“Apakah tidak sebaiknya kita menunggu surat jawaban darinya
dulu, Tuan Residen. Bagaimana laporan dari kurir kita tadi malam yang menemui
Mangkubumi?”
“Tidak perlu. Kita mengirim kurir dan meminta Diponegoro menulis
surat lagi hanyalah untuk memperbanyak pekerjaannya saja. Kita tidak menunggu
surat itu. Kita akan kepung mereka dengan kekuatan yang lebih besar ketimbang
kekuatan mereka.”
“Apakah kita sudah tahu berapa kekuatan mereka yang dipusatkan
di Tegalredjo?”
“Ya. Dari beberapa pasukan telik sandi, kita sudah mendapat
kepastiannya.”
“Siapa nanti yang memimpin penangkapan?”
Smissaert tertawa, “Kowe mau,
Patih?”
Danuredjo menggeleng cepat. Sambil tertawa konyol Danuredjo
menjawab, “Tuan Residen pasti tahu saya bukan orang yang tepat untuk mengemban
tugas itu. Wakil Tuan, Chevallier jauh lebih tepat.”
Smissaert mengangguk-angguk.
“Ya, kowe kali
ini benar. Chevallier lebih punya kemampuan untuk itu. Dia orang sudah aku
panggil. Sekarang dia sedang ke sini.”
“Secepat itukah?”
“Rencana sudah aku susun dengan
sangat rapi. Jika kowe pintar, kowe akan
bisa banyak belajar…”
Danuredjo hanya manggut-manggut. Tak
berapa lama terdengar langkah-langkah kaki tergesa milik wakil residen itu.
Chevallier sudah mengenakan seragam tempur, lengkap dengan topi dan pedangnya.
Dia benar-benar sudah siap diterjunkan ke medan laga. Setelah memberikan military-salute, dengan
sikap sempurna Chevallier melapor pada atasannya, Residen Anthonie Hendriks
Smissaert.
“Lapor Tuan Residen! Kami siap dan tinggal menunggu perintah!”
“Berapa kekuatanmu untuk operasi nanti sore?”
“Siap! Duapuluh lima flankeurs[1],
duapuluh lima huzaren[2], dan
dua veldstuk[3].
Demikian pula dengan pasukan prang Sultan, pasukan prang Pangeran Pakualaman,
Legiun Mangkunegaran, dan lainnya. Semuanya sudah siap bergerak. Mereka kini
berada di posnya masing-masing untuk menunggu perintah. Letnan Satu Thierry dari
Resimen Huzaren ke-7 menjadi pimpinan operasi. Saya sendiri ikut di dalam
pasukan ini.”
Senyum Smissaert mengembang di wajahnya. Sambil
mengangguk-angguk, dia memberikan beberapa perintah. “Jika sampai pukul
setengah tiga sore Mangkubumi belum juga datang dengan membawa pimpinan
pemberontak itu ke sini, maka kedua orang itu-Mangkubumi dan Diponegoro-harus
kalian tangkap, hidup atau mati. Tak ada bedanya bagiku. Gunakan segala cara
untuk menyeret kedua orang itu ke hadapanku. Secepatnya!”
Smissaert melirik lemari jam Junghans yang berdiri di sudut
ruangan kepatihan. Jarum pendeknya yang berwarna keemasan telah mendekati angka
dua. Smissaert tahu, jarum itu akan terus bergerak pasti, detik demi detik,
menit demi menit, seirama gerak dua bandul yang bergelantungan di bawah bulatan
dengan dua jarum jam.
Residen itu kemudian menatap
wakilnya yang masih berdiri dengan sikap sempurna, “Chevallier, kowepunya
waktu kurang dari satu jam untuk bersiap. Sekarang kembalilah ke pasukanmu.
Bersiaplah. Sebelum hari menjadi gelap, aku sangat berharap pimpinan
pemberontak itu sudah kowe seret ke sini. Kita perlihatkan kepada semua orang,
hukuman apa yang bakal menimpa orang-orang yang berani melawan pemerintah yang
sah ini!”
“Siap!” jawab Chevallier singkat dan tegas. Setelah memberikan
penghormatan kembali, dia kemudian membalikkan badan. Dengan setengah berlari,
veteran Palagan Waterloo itu melintasi lorong yang satu ke lorong yang lain di
dalam kraton menuju alun-alun Lor tempat semua pasukannya berkumpul.
Matahari bulan Juli yang terik semakin tergelincir ke barat.
Chevallier telah tiba di ujung alun-alun. Dari kejauhan, nampak semua
pasukannya telah berbaris rapi di lapangan yang luas. Chevallier tersenyum.
Walau tubuhnya bermandikan keringat, namun semangatnya begitu tinggi. Sore
nanti, Pangeran Diponegoro-Kepala Pemberontak itu-beserta Pangeran Mangkubumi,
sudah harus dibawanya ke Residen Smissaert. []
Bab 22
INFORMASI MERUPAKAN SESUATU YANG AMAT sangat berharga dalam
sebuah peperangan. Siapa yang menguasai informasi musuhnya, maka dia akan
keluar sebagai pemenang. Pangeran Diponegoro sangat mengetahui hal ini.
Sebab itu, jauh-jauh hari Diponegoro telah menugaskan Pangeran
Bei untuk menyebarkan sejumlah pasukan telik sandi ke kantung-kantung musuh,
bahkan ke dalam kraton dan juga Vredeburg, benteng Belanda yang berada tak jauh
di utara kraton. Pasukan telik sandi Diponegoro bukan hanya terdiri dari kaum
lelaki, namun juga perempuan. Para isteri pangeran, selir raja, pelayan kraton,
tukang masak, hingga para penari, dan pedagang yang diam-diam bersimpati pada
perjuangan Pangeran Diponegoro. Mereka secara suka rela bekerja, mengumpulkan
informasi sebanyak-banyaknya mengenai perkembangan dan pergerakan pasukan
musuh.
Mengenai pasukan telik sandi ini, laskar Diponegoro memiliki dua
jenis. Yang pertama adalah pasukan telik sandi sukarela, yang terdiri dari
banyak profesi dari berbagai macam lapisan masyarakat. Sedangkan yang kedua
adalah pasukan telik sandi utama, yaitu pasukan yang sengaja dibentuk dari
orang-orang terpilih, direkrut dan dilatih secara rahasia, dan secara terencana
serta terukur ditempatkan di posnya masing-masing. Dengan sendirinya, tingkat
kredibilitas informasi yang diperoleh pasukan telik sandi utama ini jauh lebih
terpercaya ketimbang yang pertama. (Bersambung)
[1] Infanteri
[2] Kavaleri
[3] Artileri (pembawa meriam)
Berdasarkan masukan dari pasukan telik sandi utama inilah,
Pangeran Bei bersama Pangeran Diponegoro menyusun sistem pengaman di sekitar
wilayah Tegalredjo, yang terbagi ke dalam tiga lingkaran dengan radius yang
berbeda. Satu lingkaran dipimpin oleh seorang senopati yang membawahi empat
komandan arah mata angin, komandan Lor[1], Kulon[2], Kidul[3], dan Wetan[4]. Jadi
total ada tiga senopati yang masing-masing membawahi empat komandan sesuai
dengan mata angin.
Siang itu ba’da Dzuhur,
dengan menunggang Kiai Gentayu, Pangeran Diponegoro melakukan inspeksi ke
seluruh pasukannya. Ki Singalodra, Mangkubumi, Pangeran Bei, Ustadz Taftayani,
dan tiga orang laskar menyertainya.
Tiba di tepi sebelah barat Kali Winongo yang berbatasan dengan
wilayah Badran dan Pringgokusuman, Pangeran Diponegoro beserta seluruh
rombongannya menemui Joyomustopo dan Joyoprawiro yang memimpin laskar setempat.
Jumlah laskarnya lebih kurang ada sekitar duaratusan orang bersenjata tombak,
keris, dan pedang. Beberapa di antaranya terlihat memegang senjata berupa tiga
buah bola besi sebesar kepalan tangan orang dewasa yang diberi besi tajam di
sana-sini, yang dihubungkan dengan rantai dan diputar-putar hingga mengenai musuh.
Senjata ini disebut sebagai Bandil[5].
Setelah itu rombongan melanjutkan inspeksinya ke seluruh wilayah
Tegalredjo. Inspeksi seperti ini diperlukan, selain untuk koordinasi antar
pimpinan pasukan, juga untuk menaikkan semangat berjuang di kalangan laskar
atau prajurit.
Menjelang kumandang adzan Asyar, Diponegoro dan rombongan sudah
kembali ke dalam masjid Puri Tegalredjo. Setelah beristirahat dan sholat
berjamaah, Diponegoro memanggil Mangkubumi.
“Paman, saya akan menulis surat terakhir untuk residen. Kita
akan tetap pada pendirian kita semula. Tak goyah sedikit pun. Tolong sebentar
lagi panggilkan Ahmad Prawiro untuk mengantarkan surat ini ke kraton.”
Setelah itu Pangeran Diponegoro masuk ke dalam biliknya.
Pangeran Mangkubumi menunggu di dalam masjid. Beberapa sesepuh dan laskar masih
ada yang berzikir di dalam masjid.
Seorang kurir dengan tergopoh-gopoh masuk ke dalam masjid.
Menyadari Pangeran Diponegoro tengah menulis surat di dalam biliknya, kurir
tersebut mendekati Pangeran Mangkubumi yang tengah duduk bersila dan segera
menyampaikan berita yang menggembirakan.
“Kanjeng Pangeran, Kiai Modjo dari Surakarta menyampaikan salam
pada Kanjeng Pangeran dan semua yang ada di Tegalredjo ini. Saat ini beliau,
bersama anaknya, Kiai Ghazali, dan seluruh pasukan santrinya tengah menuju ke
sini untuk memperkuat pertahanan…”
“Kiai Modjo dan anaknya?”
“Betul, Kanjeng Pangeran. Mereka semua sedang berjalan ke
Tegalredjo ini…”
Pangeran Mangkubumi
mengangguk-angguk, “Baiklah. Terima kasih atas informasinya, Kisanak. Saya
akan sampaikan berita menggembirakan ini kepada Pangeran Diponegoro
secepatnya.”
“Inggih,
Kanjeng Pangeran. Saya minta diri…”
Setelah mengucapkan salam, kurir tersebut keluar dari masjid
untuk mengambil air wudhu. []
Bab 23
NAFAS SUROMENGGOLO TERSENGAL-SENGAL. SALAH seorang kepercayaan
Diponegoro itu kemudian lompat dari kudanya dan langsung berlari menuju masjid,
di mana Pangeran Diponegoro dan para sesepuh lainnya berada.
“Assalamu’alaikum…!”
ujarnya setengah berteriak. Dadanya terlihat turun naik. Nafasnya masih
satu-satu. “Kanjeng Pangeran ada?” tanyanya kepada salah seorang laskar yang
masih berada di masjid. Laskar itu kemudian menunjukkan ibu jarinya ke arah
sudut depan masjid dimana bilik Pangeran Diponegoro berada.
“Beliau sedang menulis surat di biliknya…”
Suromenggolo mengangguk dan masuk ke dalam masjid. Begitu
melihat Mangkubumi juga ada di masjid, Suromenggolo memberi salam mendekatinya.
“Salam, Kanjeng Pangeran Mangkubumi…”
“Salam juga, Kisanak.
Apakah ada perkembangan baru di lapangan. Kenapa Kisanak terengah-engah
begitu?”
Suromenggolo menganggukkan
kepalanya cepat, “Ya. Belanda. Pasukan Belanda sudah bergerak dari alun-alun Lor menuju
ke sini. Dua kilometer lagi mereka tiba di jembatan Kali Winongo!”
Mangkubumi agak terkejut. Dia kemudian berdiri, “Cepat sekali
gerakan mereka. Berapa kekuatannya?”
“Dua meriam baja ukuran sedang
yang ditarik dua kereta model Osten-Grey. Meriam itu masih baru. Ada juga
puluhan infanteri dengan senjata laras panjang flintlock,
puluhan kavaleri berkuda dengan pedang dan senjata api. Legiun Mangkunegaran
juga ada di sana. Jumlahnya sekira limaratusan…”
“Mereka ingin menangkap Pangeran Diponegoro?”
“Ya. Selain Kanjeng Pangeran Diponegoro, juga beberapa pimpinan
lainnya.”
“Termasuk aku?”
Suromenggolo mengangguk, “Ya, termasuk.”
Menyadari bahaya yang semakin mendekat, Mangkubumi akhirnya
bergegas mengetuk pintu bilik di mana Pangeran Diponegoro sedang menulis surat.
Pintu dibuka dari dalam. Pangeran Diponegoro sudah berdiri diambang pintu.
Mangkubumi segera melaporkan semuanya.
“Pasukan Belanda sudah mendekati jembatan Kali Winongo!”
Diponegoro tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Jembatan
Kali Winongo sangat dekat dengan Puri Tegalredjo. Namun pergerakan pasukan Belanda
juga akan sedikit terhambat dengan banyaknya barikade dan jebakan yang sudah
dipasang dengan cermat. Laskar yang menjaga sekitar wilayah Winongo juga akan
tidak tinggal diam. Pertempuran sebentar lagi akan terjadi.
Kepada Mangkubumi, Diponegoro
berkata, “Paman, sekarang para kafirin dan murtadin itu sudah di depan mata
kita. Mereka menyerang kita. Tentu kita tidak akan tinggal diam. Kini
bersiaplah. Kita akan sambut mereka. Kita kibarkan panji-panji gula kelapa![6]
Kita kibarkan juga panji kejayaan negeri ini[7]. Allah bersama kita! Allahu Akbar!“
“Allahu Akbar! Kami
semua siap, Pangeran!”
“Oh iya, Pangeran. Ada juga berita gembira. Kiai Modjo dan
anaknya, Kiai Ghazali, tengah berjalan ke sini memimpin pasukannya untuk
memperkuat Tegalredjo.”
“Alhamdulillah.
Semoga Allah subhana wa ta’ala melindungi kita semua,
Paman…”
“Amien ya Rabb…“
Setelah mengucap salam, Mangkubumi bergegas keluar dari masjid,
diikuti seluruh sesepuh dan laskar yang ada. Hanya Ki Singalodra dan tiga
prajurit kawal yang tetap berdiri di samping Diponegoro. Dengan senyum tipis di
bibirnya, Diponegoro menoleh kepada Ki Singalodra.
“Kisanak, pintu
surga sebentar lagi akan terbuka lebar-lebar di hadapan kita. Bersiaplah untuk
menyambutnya. Saya akan persiapkan isteri dan anak-anak dahulu. Tolong siapkan
Kiai Gentayu. Silakan Kisanak tunggu disini…” (Bersambung)
[1] (Bahasa Jawa): Utara
[2] (Bahasa Jawa): Timur
[3] (Bahasa Jawa): Selatan
[4] (Bahasa Jawa): Barat.
[5] Senjata bandil, keris, tombak, pedang, trisula, dwisula, dan
sebagainya masih tersimpan dengan baik di Monumen Pangeran Diponegoro Sasana
Wiratama, museum yang dibangun di atas lahan bekas Puri Tegalredjo di Desa
Tegalredjo, sebelah barat Stasiun Tugu, Yogyakarta.
[6] Panji Gula-Kelapa adalah panji atau bendera merah putih. Lambang
pemberontakan untuk merdeka.
[7] Yang dimaksudkan dengan Panji Kejayaan adalah bendera
berwarna kuning yang melambangkan tanda kebesaran . Bendera ini merupakan
simbol perjuangan leluhur yang sudah berabad lamanya tidak pernah dikibarkan,
sejak tahun 1292 pada masa Jayakatwang hingga Sultan Agung.
Setelah mengucapkan kalimat
itu, Pangeran Diponegoro bergegas masuk ke dalam bangunan utama Puri
Tegalredjo. Seorang prajurit keluar dari masjid untuk mengambil salah satu kuda
kesayangan Pangeran Diponegoro dan menambatkannya di depan masjid. Dia sendiri
menjaga kuda itu.
Pada saat bersamaan, tepat di seberang Kali Winongo, limapuluh
meter di selatan jembatan, seorang pengintai yang bersembunyi di balik pohon
tampak memicingkan matanya di jendela intip teropong besi berukuran kecil yang
diberi lensa di kedua sisinya. Dari teropongnya, dia sudah bisa melihat bagian
depan pasukan Belanda yang membawa dua buah meriam ukuran sedang. Beberapa
tampak menunggang kuda, sedangkan yang lain berjalan kaki. Semuanya bersenjata
lengkap.
Menurut informasi yang diterima, pasukan Belanda ini berniat
menangkap Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, hidup atau mati. Namun
dia dan seluruh laskar Diponegoro tidak percaya. Dengan membawa pasukan
bersenjata lengkap, Belanda tidak akan sekadar menangkap Diponegoro dan
Mangkubumi, namun juga akan menghancurkan laskarnya. Belanda memang
menginginkan perang.
Pengintai itu meletakkan
teropongnya. Dia segera memberi kode kepada pasukan pemukul yang tigapuluh
meter bersembunyi di belakangnya dengan mengangkat tangannya tinggi-tinggi
sambil menggoyangkan-goyangkan dahan pohon yang dipegangnya ke atas. Para
komandan regu melihat isyarat tersebut. Mereka tahu, musuh sudah bergerak
mendekati ujung wetan[1] jembatan
Kali Winongo. Namun sesuai dengan perintah Pangeran Diponegoro, mereka tak
diperbolehkan menyerang terlebih dahulu. Sebab itu, sambil terus bersembunyi ke
rerimbunan pohon dan semak, mereka hanya menunggu apa yang akan dilakukan
pasukan Belanda tersebut.
Di sisi lain, pasukan pemanah sudah mempersiapkan anak panah
mereka di tali busur yang tinggal direntangkan. Pasukan pemanah bersembunyi di
dua sisi yang agak tinggi, di kiri dan kanan jembatan. Mereka akan menyambut
pasukan Belanda yang pasti akan melintasi jembatan Kali Winongo di depannya.
Di kejauhan, Letnan Satu Thierry memerintahkan pasukannya untuk
berhenti sejenak di ujung jembatan. Pimpinan pasukan itu menyuruh tiga
prajuritnya memeriksa jembatan hingga ke ujungnya. Mereka agaknya curiga,
kalau-kalau jembatan sudah disabotase atau dirusak oleh Laskar Diponegoro,
sehingga bisa saja ketika meriam dan pasukan melintas, jembatan itu akan ambruk
ke bawah dan mereka akan jatuh tenggelam ke dalam sungai yang cukup dalam
tersebut.
Baru saja ketiga prajurit Belanda itu sampai di tengah jembatan,
tanpa diduga siapa pun, dari arah berlawanan tiba-tiba datang sejumlah warga
desa yang memegang aneka senjata tajam. Sambil berteriak-teriak riuh-rendah,
mereka mengacung-acungkan senjatanya ke arah Belanda. Beberapa di antaranya
bahkan mulai menembaki pasukan itu dengan ketapelnya. Beberapa lagi menimpuki
pasukan Belanda itu dengan batu-batu.
Joyo Prawiro dan Joyo Mustopo tertegun. Pimpinan duaratusan
laskar yang bertugas mempertahankan jembatan Kali Winongo dan sekitarnya saling
berpandangan. Mereka benar-benar tidak menduga jika warga desa akan berani
menyongsong pasukan Belanda yang bersenjata lengkap seperti itu.
“Uedan!
Mereka kira ono pesta opo?”
umpat Joyo Prawiro sambil terus merunduk di balik pohon nangka.
Joyo Mustopo mengangguk cepat, “Yo wis. Kita
lihat saja bagaimana Belanda itu. Kalau mereka mulai menyerang, kita balas!”
Belum kering Joyo Mustopo berkata, tiba-tiba terdengar suara
dentuman yang amat keras. Beberapa detik kemudian, dentuman serupa terdengar
lagi.
“Meriam Belanda!” ujar Joyo Prawiro. Bukannya takut, orang ini
malah kegirangan. Dia benar-benar menunggu momen untuk bisa berperang melawan
kafir Belanda. Tak jauh beda dengan Joyo Prawiro, Joyo Mustopo juga
menyeringai. Belanda telah menyerang! Itu berarti mereka sudah boleh menyerbu
tentara kafir itu.
Dengan penuh semangat Joyo
Mustopo berdiri, keluar dari tempat persembunyiannya. Sambil mengacungkan
pedangnya, dia berteriak, “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Serbuu..!!!”
Dua orang prajurit yang
masing-masing membawa panji gula kelapa dan panji kuning dengan kalimah
syahadah yang dibordir dengan benang emas berdiri sambil mengibar-kibarkan
kedua panji tersebut ke atas. Melihat panji perang sudah berkibar tinggi, dua
ratusan laskar dengan senjata aneka macam serentak keluar dari tempat persembunyiannya
sambil meneriakkan takbir. Tanpa takut mereka berlari menyongsong musuh yang
sebagian sudah berhasil melintasi jembatan. Pasukan berkuda Belanda yang
diikuti regu senapan juga baru saja menyeberangi jembatan. Mereka terus
merangsek maju dilindungi tembakan dari senapan flintclock yang
larasnya diarahkan rendah setinggi pinggang. Dari seberang kali, dua meriam
dengan kereta Osten Grey-nya masih tetap menembak ke
arah laskar untuk membuyarkan konsentrasi barisan mereka.
Di ujung jembatan, duel jarak dekat tak bisa dihindari. Dengan
bersenjatakan keris, pedang, tombak, bandil, dan apa saja yang bisa dijadikan
senjata, dengan gagah berani mereka berusaha menahan laju pasukan Belanda.
Joyo Mustopo terus merangsek ke depan. Tangan kanannya begitu lincah
menyabetkan pedang pendeknya ke kanan dan kiri. Sedangkan tangan kirinya
menggenggam trisula yang akan melukai siapa pun yang berada di dekatnya. Dengan
kecepatan yang mengagumkan, salah seorang pimpinan laskar ini berlompatan
kesana-kemari menghadapi pasukan Belanda yang terus saja berusaha untuk maju.
Sedangkan Joyo Prawiro yang berada lima meter di sebelah
kanannya, dengan ganas mengayun-ayunkan bandil dengan tiga bola besi berduri
yang bisa meremukkan tulang tengkorak. Kedua kakinya juga lincah berlompatan
menghindar dari ujung sangkur Belanda yang ditusukkan ke segala arah.
Sambil bertempur jarak dekat, Joyo Prawiro dan Joyo Mustopo
melihat Legiun Mangkunegaran mulai berdatangan. Bagai air bah,
prajurit-prajurit Jawa yang dikirim Mangkunegara II tersebut membantu pasukan
Belanda yang sesungguhnya mulai kepayahan. Mendapat bantuan yang besar, pasukan
kafir itu mulai bersemangat. Di depan mereka, pasukan kavaleri mulai melabrak
barisan bagian dalam laskar yang akhirnya membuat laskar itu kocar-kacir.
Joyo Mustopo dan Joyo Prawiro tahu bahwa pasukan Belanda dan
kaum murtadin itu tidak akan bisa dibendung lagi. Kekuatan tidak imbang. Mereka
akhirnya memilih mundur teratur sembari melakukan perlawanan kecil. Dua
serangkai tersebut kemudian berbagi tugas. Joyo Mustopo akan memberikan laporan
ke puri, sedangkan Joyo Prawiro akan terus memimpin laskarnya yang masih
tersisa untuk mengundurkan diri ke arah barat.
“Sampaikan salamku untuk Kanjeng Gusti Pangeran!” teriak Joyo
Prawiro. Joyo Mustopo menggebrak kudanya. Dia langsung melesat meninggalkan
arena pertempuran yang mengepulkan asap yang begitu pekat. [] (Bersambung)
[1] (Bahasa Jawa): Timur.
Sumber : www.eramuslim.com