Menu

Tuesday, February 18, 2014

Mengenal Lebih Dekat Imam Syafii



Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد بن إدريس الشافعي) yang akrab dipanggil Imam Syafi'i (Ashkelon, Gaza, Palestina, 150 H / 767 - Fusthat, Mesir 204H / 819M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi'i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi'i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
Kelahiran[sunting | sunting sumber]
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i”.
Nasab[sunting | sunting sumber]
Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.
—HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66
Masa belajar[sunting | sunting sumber]

Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
Belajar di Makkah[sunting | sunting sumber]
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.
Belajar di Madinah[sunting | sunting sumber]
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
Di Yaman[sunting | sunting sumber]
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Di Baghdad, Irak[sunting | sunting sumber]
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.
Di Mesir[sunting | sunting sumber]
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
Karya tulis[sunting | sunting sumber]

Ar-Risalah[sunting | sunting sumber]
Salah satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”
Mazhab Syafi'i[sunting | sunting sumber]
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),”
Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid’ah.” Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.” Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala. Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,
Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima’ul Ilmi.
Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah: 1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin. 2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani 3. Ishaq bin Rahawaih, 4. Harmalah bin Yahya 5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi 6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.
Al-Hujjah[sunting | sunting sumber]
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.
Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah Qalamullah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”
Al-Umm[sunting | sunting sumber]
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka buanglah perkataanku di belakang tembok,”
“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”.
"Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”
Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”
Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a’laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”
Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”


Kajian Oleh Habib Novel Bin Muhammad Alaydrus
Download disini : https://archive.org/details/MengenalImamSyafii
Cara Download : Lihat Judul Audio File (Dibawah Tulisan VBR Mp3) Klik Size/Ukuran Audio (52.9 Mb) Klik Kanan-- Save File As--Letakkan di file Target - OK

Peran Guru Dalam Perjalanan Menuju Allah


Kelak dihari kiamat ada orang-orang yang duduk, berdiri diatas mimbar yang terbuat dari cahaya,
Wajah mereka bercahaya, cahayanya luar biasa
Para nabi bahkan para syuhada iri dengan cahaya mereka itu,
Mereka bukan para nabi, mereka bukan syuhada..
Mereka adalah sekelompok orang dari umat Nabi Muhammad SAW, dari suku bangsa yang berbeda-beda, dari kota yang berbeda-beda mereka berkumpul untuk berdzikir kepada Allah SWT
Dan setelah berkumpul mereka benar benar berdzikir kepada Allah SWT

Sebuah Kajian yang sangat berbobot dan penuh dengan ilmu yang sangat bermanfaat,
Mungkin sebagian dari teman2 sudah punya kajian ini.. bagi yang belum punya silahkan di download ...saya ga bosen denger kajian ini.. sungguh materinya sangat enak untuk didengar... semoga bermanfaat..
Teruntuk: para pencari guru dalam kehidupan...

Link Kajian :
http://www.4shared.com/mp3/-XIEYyokce/02_Kajian_Ar_Raudha___Jumat_ke.html

Profil Ustadz Yusuf Mansur


Yusuf Mansyur (lahir di Jakarta, 19 Desember 1976; umur 37 tahun) adalah seorang tokoh pendakwah, penulis buku dan pengusaha dari Betawi, sekaligus pimpinan dari pondok pesantren Daarul Quran Bulak santri, Cipondoh, Tangerang dan pengajian Wisata Hati. Ia lahir dari keluarga Betawi berkecukupan pasangan Abdurrahman Mimbar dan Humrifíah dan sangat dimanja orang tuanya.
Lulusan terbaik Madrasah Aliyah Negeri 1 Grogol, Jakarta Barat, tahun 1992 ini pernah berkuliah di jurusan informatika namun, berhenti tengah jalan karena lebih suka balapan motor.
Pada tahun 1996, Ia terjun di bisnis informatika, sayang bisnisnya malah menyebabkan ia terlilit hutang dan membuatnya masuk rumah tahanan selama 2 bulan, dan hal serupa kembali terulang pada tahun 1998. Saat di penjara itulah, ia menemukan hikmah tentang sedekah. Selepas dari penjara, ia mencoba memulai usaha dari nol lagi dengan berjualan es di terminal Kali Deres. Berkat kesabaran dan keikhlasan sedekah pula akhirnya bisnisnya mulai berkembang dari semula berjualan dengan termos, lalu gerobak sampai kemudian memiliki pegawai. Hidup Yusuf mansyur mulai berubah saat ia berkenalan dengan seorang polisi yang memperkenalkannya dengan LSM. Selama bekerja di LSM itulah, ia membuat buku Wisata Hati Mencari Tuhan Yang Hilang. Buku yang terinspirasi oleh pengalamannya sewaktu di penjara saat rindu dengan orang tua.
Tak dinyana, buku itu mendapat sambutan yang luar biasa. Yusuf mansyur sering di undang untuk bedah buku tersebut. Dari sini, undangan untuk berceramah mulai menghampirinya. Di banyak ceramahnya, ia selalu menekankan makna di balik sedekah dengan memberi contoh - contoh kisah kehidupan nyata. Gaya bicaranya yang simpel dan apa adanya saat berdakwah membuat isi ceramah mudah di cerna dan di gemari masyarakat.

Source : http://id.wikipedia.org/wiki/Yusuf_Mansur

Nikmat Dzikir


Mengapa Kita Belum Bisa merasakan Nikmat dalam Berdzikir????...

Hal itu disebabkan karena hatinya masih kotor, ia belum mengikis akhlaknya yang tercela, dan belum menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia.  Pada saat berdzikir hatinya dipenuhi dengan bisikan-bisikan (khowathir) dan was-was.  Ia tidak berusaha menyingkirkan semua ikatan lahiriah yang menghalanginya untuk berdzikir dengan sepenuh hati kepada Allah SWT.  Ia tidak ber-suluk[1] di bawah bimbingan seorang guru atau syeikh[2] yang memiliki ma’rifat[3], yang ahli dalam ilmu lahir dan batin.  Juga bisa karena sebab-sebab lain.

            Siapa yang tidak mampu mengatasi kekurangan-kekurangan tadi, maka hendaknya ia menyibukkan lisannya dengan dzikrullah dengan hati yang dipaksakan hadir[4] sambil menunggu dan mengharap karunia Allah.  Tidaklah mustahil Allah akan memberinya jalan keluar yang tidak pernah ia perhitungkan sebelumnya.  Dan janganlah merasa heran jika ia tidak berhasil mengecap kenikmatan dzikir sebagaimana yang dirasakan oleh para ahli tarekat, apabila ia belum memenuhi persyaratan di atas.

(‘Abdullah bin ‘Alwi al-Haddad, Nafaisul ‘Uluwiyyah fil Masailis Shufiyyah, cet. I, Darul Hawi, 1993/1414H, hal.54)


[1] Sulûk: jalan kearah kesempurnaan batin. Ilmu sulûk juga disebut ilmu tasawuf.  Sâlik adalah orang yang menempuh jalan menuju Allâh.

فَاسْلُكِيْ سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلاً

Maka ber-sulûk-lah di atas jalan-jalan Tuhanmu dengan patuh.

(An-Nahl, 16:69)

[2] Syeikh: menurut ilmu bahasa berarti orang yang telah lanjut usia.  Kemudian digunakan untuk menyebut seorang guru, pembimbing, mursyid atau pemimpin suatu kelompok.

[3] Ma’rifat: pengetahuan yang sempurna, pengetahuan Ilâhiyyah, pengetahuan yang hakiki, pengetahuan yang berasal dari Allâh.
[4] Lihat Lampiran C.
Sumber :

http://kyaijawab.com/post/158/Nikmat+Dzikir

Membacakan AlQuran Untuk Yang Telah Meninggal Dunia


Selain memintakan ampunan (beristighfar), Rasulullah saw juga mengajarkan agar kita membacakan surat dan ayat tertentu kepada saudara kita yang telah meninggal. Rasulullah saw bersabda :

“Bacakanlah surat Yasin kepada orang orang yang meninggal dunia diantara kalian” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

“Surat Yasin adalah jantung AlQuran, tidaklah seseorang membacanya karena mengharapkan(keridhaan) Allah Tabaraka wa Ta’ala dan negeri akhirat, melainkan Allah mengampuninya. Dan bacakanlah Yasin kepada orang orang yang meninggal dunia diantara kalian.” 
(HR Ahmad )

Imam Thabrani dan Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa sayidina ‘Abdullah bin Umar ra, berkata :

“Aku mendengar bahwa Rasulullah saw bersabda : ‘Jika salah seorang diantara kalian meninggal dunia, maka jangan tahan jenazahnya, segera bawa dia ke kuburnya dan bacakanlah surat Al-Fatihah di dekat kepalanya dan penutup surat Al-Baqarah di dekat kakinya, di makamnya’. ( HR Thabrani dan Baihaqi )

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sebelum meninggal, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab r.a berwasiat agar setelah selesai penguburan dibacakan untuknya pembukaan dan penutupan surat Al-Baqarah, tepat disamping kepala beliau.13

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya Ar-Ruh menyebutkan beberapa riwayat tentang kebiasaan para sahabat dan salaf untuk membacakan AlQUran di makam saudara mereka sesama muslim. Beliau menyebutkan bahwa Al-Khallal dalam kitab Al-Jami’ meriwayatkan bahwa Sya’bi berkata :

“Dahulu sahabat Anshar jika salah seorang diantara mereka meninggal dunia, maka mereka berulang kali mendatangi makamnya dan membacakan AlQuran di sana”14

Imam Thabarani dalam Mu’jam Al-Kabir meriwayatkan bahwa Abdurahman bin ‘Ala bin Lajlaj menyebutkan bahwa ayah beliau berwasiat kepada beliau sebagai berikut:

“Duhai anakku, jika aku meninggal dunia, maka buatkanlah liang lahat untukku. Ketika engkau meletakkan ku dalam liang lahat tersebut, ucapkanlah : Bismillahi wa’ala millati rasululillah. Kemudian timbunilah aku dengan tanah secara perlahan, lalu bacakanlah di dekat kepalaku pembukaan dan penutup surat Al-Baqarah, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw mengatakan hal itu.”15

Ar-Kharaithi dalam kitab Al-Qubur sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Qurthubi dalam kitabnya At-Tadzkirah Fi Ahwalil Mauta menyebutkan :

“Sudah menjadi kebiasaan kaum Anshar jika mereka membawa jenazah ( ke pemakaman ), maka mereka mengiringinya dengan membaca surat Al-Baqarah.”16

Berdasarkan berbagai dalil diatas dan dalil dalil lainnya, para ulama menganjurkan umat Islam untuk membacakan AlQuran di hadapan jenazah, baik sebelum maupun setelah dimakamkan. Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Sahlihin berkata :

Syafi’I r.a berkata, “Dianjurkan di makam seseorang untuk dibacakan sebagian dari AlQuran dan jika mereka mengkhatamkan AlQuran secara keseluruhan, maka itu lebih bagus.”17

Ingatkah kita akan kisah dua orang yang mendapatkan siksa kubur, kemudian siksa mereka diringankan oleh Allah setelah Rasulullah saw menanamkan pelepah kurma yang masih basah di makam mereka? Coba kita simak kisah tersebut .

Abdullah bin Abbas r.a menyebutkan bahwa pada suatu hari bersama sejumlah sahabat, Rasulullah saw melewati dua buah makam. Pada saat itu Rasulullah saw bersabda :

“Kedua penghuni makam ini sesungguhnya sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena dosa besar (dalam pandangan mereka). Penghuni makam yang satu ini semasa hidupnya ketika buang air kecil tidak menutupi dirinya, sedangkan yang lain suka mengadu domba.”

Kemudian Rasulullah saw mengambil sepotong pelepah daun kurma yang masih basah dan membaginya menjadi dua. Setelah itu beliau menanamnya pada setiap makam. Para sahabat kemudian bertanya kepada beliau saw,

“Wahai utusan Allah, mengapa engkau melakukan hal ini ( menanam pelepah kurma di makam orang tersebut)?”

Rasulullah saw menjawab :

“Semoga Allah meringankan siksa keduanya selama kedua pelepah kurma tersebut belum kering.” 
(HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)

Apa rahasia dibalik penanaman pelepah kurma? Simaklah pendapat Imam Qurthubi r.a dibawah ini :

Sabda Rasulullah saw yang berbunyi, “Selama kedua pelepah kurma tersebut belum kering.” Merupakan sebuah petunjuk bahwa selama masih basah kedua pelepah kurma tersebut bertasbih kepada Allah dan jika telah kering barulah menjadi benda mati. Wallahu a’lam.

Selanjutnya Imam Qurthubi r.a berkata :

Berdasarkan hadits penanaman pelepah kurma diatas, para ulama kami berpendapat bahwa jika kedua orang tersebut diringankan siksanya karena tasbih pelepah kurma yang masih basah tersebut, lalu bagaimana kiranya pengaruh bacaan AlQuran seseorang mukmin di makam saudaranya.18

Sehubungan hadits diatas, Imam Nawawi r.a berkata :

Berdasarkan hadist (tentang pelepah kurma ini), para ulama kemudian menganjurkan seseorang untuk membaca AlQuran di sebuah makam. Sebab jika tasbih pelepah kurma dapat meringankan siksa sesorang maka, pembacaan AlQuran tentunya lebih utama. Wallahu a’lam.19

Saudaraku, jelas sudah bahwa membacakan AlQuran, doa dan dzikir untuk saudara kita yang telah meninggal bukanlah sebuah perbuatan yang mengada-ada, bukanlah sebuah bid’ah, akan tetapi sunah Rasulullah saw dan amalan yang dilakukan para sahabat serta umat Islam dari masa ke masa.

13. Lihat Syeikh Abdul Wahhab Asy-Sya'rani, Syarhu Muktashari Tadzkiratil Qurthubi, Al-Haramin, Singapura-Jeddah-Indonesia, hal 25

14. Mula 'Ali Al-Qari, Maraqil Falah, Darul iman, Damaskus, 1897, juz 4, hal 180. Lihat juga Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Ar-Ruh.

15. Imam Thabrani, Mu'jam Thabrani Al-Kabir, Juz 19. Hal 22.

16. Lihat Imam Qurthubi, At-Tadzkirah Fi Ahwalil Mauta.

17. Imam Nawawi, Riyadhus Sholihin, Darul Fikr, Juz 1, Hal 189.

18. Lihat Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Al-Jami'u Li Ahkamil QUran, juz 10, Darul Ihyait Turatsil Arabi, hal 267.

19. Lihat Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarhun Nawawi Ala Shahih Muslim, jilid III cetakan II Daru Ihyait Turatsil Arabi, Beirut, 1392H. hal 202

Sumber :
http://kyaijawab.com/index.php/post/222/Membacakan+AlQuran+Untuk+Yang+Telah+Meninggal+Dunia

Tahlilan Adalah Sebuah Majelis Dzikir


Setiap muslim diperintahkan untuk sebanyak mungkin berdzikir kepada Allah swt dalam segala keadaan, baik ketika berdiri, duduk maupun berbaring. Sebagaimana kita ketahui, dzikir merupakan salah satu ibadah yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah dengan cepat. Sayangnya saat dimana seseorang seharusnya lebih banyak berdzikir, mereka justru lalai dan tenggelam dalam kenikmatan duniawi. Di hadapan jenazah, di pekuburan, di masjid, saat ini yang seringkali terdengar hanyalah pembicaraan yang berkaitan dengan hal hal yang bersifat keduniawian disertai ucapan - ucapan yang tidak bermanfaat, bahkan kebanyakan orang tidak dapat memetika pelajaran dari sesosok jenazah yang telah terbujur kaku di hadapannya. Mereka justru malah memperbincangkan urusan duniawi dan tidak berdzikir kepada Allah serta tidak pula membaa AlQUran. Sesungguhnya benar kiranya Rasulullah saw yang telah bersabda : 

Kelak di akhir zaman akan muncul manusia-manusia yang mendatangi masjid-masjid dan duduk disana secara berkelompok-kelompok. Perbincangan mereka hanyalah dunia dan kecintaan kepada dunia. Janganlah kalian duduk bersama merekan, karena Allah tidak membutuhkan mereka.1


Menyaksikan hal ini, maka para ulama terdahulu segera menyusun sebuah sistem dakwah yang luar biasa, santun namun tepat sasaran. Agar para petakziah tak duduk diam tanpa arti maupun berbicara yang tiada bermanfaat, mengucapkan kalimat yang tidak berpahala, maka merekapun menyelenggarakan tahlilan. Di saat seperti itulah mereka mengajak umat Islam untuk berdzikir kepada Allah dengan membaca AlQuran, tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan berbagai bentuk dzikir lainnya Dengan demikian, tahlilan sebenarnya adalah merupakan salah satu bentuk sebuah majelis dzikir dan majelis ilmu. Ia merupakan salah satu taman surga yang dimaksud oleh baginda Muhammad saw dalam sabdanya berikut : 


Jika kalian melewati taman-taman surga, maka singgahlah disana.” Para Sahabat bertanya, “Apakah taman surga itu, wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Halaqah-halaqah(majelis-majelis) dzikir.” (HR at-Tirmidzi).


Duhai umat manusia, sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang bertugas berkeliling. Mereka berhenti dan singgah di majelis-majelis dzikir yang ada di muka bumi. Oleh karena itu, merumputlah di taman-taman surga." Para Sahabat bertanya, "Dimanakah taman-taman surga itu ?" Beliau menjawab, "Majelis-majelis dzikir. Oleh karena itu, pergilah di pagi dan sore hari dalam dzikrullah." (Al-Hakim dan Bazzar)


Dalam hadits panjang yang diriwayatkan Imam Muslim, ketika para malaikat yang bertugas mencari majelis dzikir kembali kepada Allah dan ditnya oleh Allah, "Dari manakah kalian?" Maka para malaikat menjawab :


Kami datang dari sisi hamba-hambaMu yang terdapat di bumi. Mereka bertasbih, bertakbir, bertahlil, memuliakanMu, dan memohon ampun kepadaMu. " (HR Muslim)


Kumpulan orang orang yang bertasbih, bertakbir, bertahlil inilah yang dicari dan didatangi oleh para malaikat. Suasana dzikir sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadits di atas, merupakan suasana yang akan kita temukan di dalam majelis tahlilan. Sayangnya, kemudian ada segelintir orang yang tidak suka dengan upaya menghidupkan sunah Rasululah saw dan para sahabat ini. Dengan berbagai cara dan menggunakan bermacam dalil, mereka berusaha mengelabui umat Islam dan menyatakan bahwa Rasulullah saw tidak pernah mengajarkan umatnya untuk mendoakan orang orang yang sudah meninggal dunia dan tahlilan adalah sebuah bid'ah yang sesat dan menyesatkan. Tentunya semua tuduhan tersebut adalah tidak benar dan hanya berdasarkan prasangka belaka.


1. Lihat Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Al Jami'u Li Ahkamil Quran, juz 12, Darul Ihyait Turatsil, hal 277


Sumber :
http://kyaijawab.com/index.php/post/218/Tahlilan+Adalah+Sebuah+Majelis+Dzikir